Lebah-lebah pengintai itu terbang rendah, mengitari jendela, memantau pintu-pintu. Matanya menyala merah dalam gelap malam. Mereka bisa mengenali wajah, merekam suara bisik-bisik, bahkan mendeteksi detak jantung yang melonjak karena ketakutan. Mereka tak mencari madu. Mereka mencari kebenaran. Tapi bukan kebenaran universal, melainkan kebenaran versi Penguasa.
***
Aman hanya sebuah ilusi. Tuan Gora, pria tua penjual bunga di Pasar Timur, suatu pagi menghilang. Dikatakan dia menanam kata-kata terlarang di antara kelopak hibiskusnya—kata-kata seperti "pilihan", "suara rakyat", dan "hak".
Tak ada yang berani menyebut namanya lagi. Hanya bisikan, lalu senyap. Di negeri ini, yang terlalu banyak tahu tak hidup lama. Dan yang terlalu miskin untuk membeli diam, hanya bisa berharap tak menarik perhatian.
Di televisi yang tak pernah bisa dimatikan, Jenderal Besar muncul setiap pagi. "Kami jaga negeri ini dari pengkhianat," katanya. Dengan senyum dingin dan baju besi yang mengilap, ia berbicara tentang musuh dari luar, sambil memperketat cengkeraman dari dalam.
"Utang adalah bentuk cinta pada tanah air," kata Menteri Keuangan. "Bersyukurlah kalian bisa terus berhutang." Dan rakyat pun menggali lubang, menutup lubang, menggali lagi. Mereka tidak hidup, hanya bertahan. Mereka tidak bekerja, hanya membayar. Dan mereka tidak bermimpi, karena tidur pun tak aman.
***
Di bawah langit hijau-kelam yang selalu diawasi drone, seorang anak kecil bernama Lira menatap seekor lebah mekanik yang hinggap di bunga ibunya. "Apakah mereka bisa mencium bau ketakutan?" tanyanya polos.
Ayahnya hanya tersenyum getir, lalu menutup jendela perlahan. Di dalam rumah mereka, kata-kata hanya diucapkan lewat gerak mata. Bahkan dinding bisa mendengar, begitu kata pepatah baru.
Dan di luar sana, lebah-lebah negara terus terbang. Mengawasi. Menghukum. Mengabdi pada 0,1 persen yang hidup di Menara Emas. Pajak mereka tak pernah diperiksa. Dosa mereka selalu diampuni. Karena dalam negeri ini, hukum hanyalah palu untuk memukul leher yang salah bicara.
***
Suatu malam, Lira bermimpi. Dalam mimpinya, lebah-lebah itu berbalik arah. Mereka mulai menggigit tangan tuannya sendiri. Bunga-bunga bermekaran tanpa kamera di tengahnya. Dan langit untuk pertama kalinya biru.
Tapi ia terbangun dengan suara mesin yang berdengung di luar jendela. Mimpi itu terlalu berbahaya. Ia harus melupakannya—atau lenyap bersama seperti Tuan Gora.
---
Bersambung (kalau saya ingat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar