Dewi Rengganis masih ada di sini.
Orang-orang desa di lereng gunung kerap bicara lirih soal perempuan itu. Seorang putri dari kerajaan yang jatuh, seorang wanita yang menolak tunduk pada zaman yang bergerak, seorang manusia yang memilih menyatu dengan kabut dan hutan. Konon, ia tak pernah mati. Konon, ia masih berkelana di antara pohon-pohon tua, di antara angin yang berhembus di atas padang rumput.
Seorang pengelana muda, Runa namanya, datang ke gunung itu dengan harapan bertemu sosok sang Dewi. Ia bukan orang pertama yang mencarinya, juga bukan yang terakhir. Namun, Runa bukan pendaki biasa. Ia bukan pencari harta, bukan pula pencari wangsit. Ia datang dengan hati yang penuh pertanyaan, sebab di dalam mimpinya, seorang wanita berbisik pelan, seakan memanggilnya ke tempat ini.
Malam di lereng Argopuro selalu pekat. Bintang seolah menjauh, bulan hanya setengah, tertutup awan. Runa duduk di depan api unggun yang nyalanya menari dalam gulita. Angin berdesir, membawa suara yang asing namun juga akrab.
"Kau datang mencariku?" Suara itu lirih, tapi jelas. Seperti angin yang berbisik di antara dedaunan.
Runa menoleh. Seorang perempuan berdiri di tepi cahaya, gaunnya seperti kabut, rambutnya panjang terurai hingga menyentuh tanah. Wajahnya tak bisa diterka—kadang seperti gadis belia, kadang seperti perempuan matang yang telah menelan pahit manis kehidupan. Mata itu, dua biji mutiara yang memantulkan cahaya api.
"Dewi Rengganis?" tanyanya.
Perempuan itu tak menjawab. Ia hanya tersenyum, senyum yang menyimpan seribu cerita yang tak bisa dikisahkan dalam satu malam.
"Mengapa kau memanggilku dalam mimpiku?" tanya Runa lagi.
Dewi itu berjalan mendekat, lalu duduk di seberang api. "Karena kau mencari jawaban," katanya, "dan setiap pencari jawaban harus mendaki ke tempat yang tinggi."
"Jawaban tentang apa?"
"Tentang dirimu sendiri. Tentang manusia yang kehilangan arah. Tentang dunia yang tak lagi mendengar bisikan angin, tak lagi merasakan dingin air gunung, tak lagi paham bahasa rimba. Bukankah Socrates berkata, 'Kenalilah dirimu sendiri'? Dan Al-Hallaj, dalam fana’-nya, menemukan Tuhan dalam dirinya sendiri?"
Runa diam. Kata-kata itu terasa jauh, tapi juga dekat. Ia melihat ke dalam api, mencoba mencari makna yang tersirat dalam nyala merah itu. Ia teringat Rumi yang menari dalam ekstase, Ibn Arabi yang berkata bahwa Tuhan tak jauh, tapi ada dalam hati yang bersih. Tapi sebelum ia bisa bicara lagi, Dewi Rengganis telah berdiri. Angin bertiup lebih kencang, membawa harum tanah dan bunga liar.
"Jangan cari aku lagi," katanya. "Cari dirimu sendiri. Seperti Al-Ghazali yang meninggalkan segalanya demi menemukan cahaya sejati. Seperti manusia-manusia yang menanggalkan ego agar melihat kebenaran. Jalan yang kau tempuh bukan di luar sana, tetapi di dalam."
Dan saat Runa berkedip, perempuan itu telah hilang. Tinggal kabut yang menyelimuti gunung, tinggal sunyi yang melagukan nyanyiannya sendiri.
Runa beranjak dari duduknya. Ia tahu, perjalanan sejatinya baru dimulai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar