Mereka lahir dari geometri yang tak mengerti,
tubuhnya lentur di antara tepi-tepi tajam.
Dunia memberi warna, tapi bukan makna,
hanya kotak-kotak tak seimbang yang terus berganti wajah.
Mereka diam—bukan karena tak ingin bicara,
tapi karena suara pun tak tahu harus ke mana.
Di dunia yang dibangun dari logika dan warna,
seorang perempuan menari di atas beban yang ia tak pilih.
Tubuhnya lentur, tapi punggungnya remuk oleh sistem yang kubik.
Di atasnya, seorang anak hanya berdiri. Tidak membantu. Tidak bicara.
Ia menatap tembok retak—mungkin mencari jalan keluar.
Tapi dunia tak punya pintu, hanya pusaran yang menelan segalanya.
Di dunia di mana warna ditentukan algoritma,
seorang manusia tumbuh dari kubus—bukan rahim.
Tangannya menjangkau langit yang tak ada,
rambutnya diterbangkan algoritma angin,
dan tubuhnya… tersusun dari harapan patah dan sistem tak peduli.
Ia bukan tahanan. Tapi juga bukan bebas.
Ia—adalah kita.
Aku dulu pilar, yang memikul warna dan luka.
Kini aku percikan —
Retakan geometri tak lagi mengikatku.
Dinding-dinding meledak dalam simfoni.
Kubus yang dulu menindihku, kini kutari.
Lantai yang dulu menghukum, kini kudongakkan sebagai langit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar