Tak ada yang ingat kapan lorong itu mulai berubah. Dulu, katanya, hanya ada enam pintu di sisi kiri dan enam di sisi kanan. Dua belas pintu yang tertutup rapat, berbaris lurus seperti gigi dalam rahang dunia. Tapi waktu bergulir, dan entah bagaimana, jumlah pintu itu bertambah. Satu demi satu, dengan nomor-nomor yang tak lagi berurutan, huruf-huruf yang hilang sebagian, atau kadang hanya tanda coretan merah di tengah kayu.
Penduduk lama tidak membicarakannya. Mereka tahu terlalu banyak kata bisa mengundang sesuatu yang tidak ingin datang. Mereka hanya memberi peringatan pada yang baru: jangan buka pintu yang tidak kau kenal, dan jangan sekali-kali menyentuh gagang yang dingin meski udara di luar panas membakar.
Mereka tidak menyebut namanya, tapi semua tahu siapa yang dimaksud. Sosok yang tidak berjalan, tidak berdiri, hanya merangkak—perlahan, seperti cairan busuk yang mencari celah. Ia datang tanpa suara, tapi meninggalkan bau besi karat dan kelembaban. Dinding akan berembun saat ia mendekat, dan kunci-kunci tua mulai bergetar meski tidak disentuh.
Mereka menyebutnya "dia yang merangkak di antara pintu-pintu." Seolah tak pernah memiliki tempat sendiri, seolah keberadaannya memang ditakdirkan untuk tinggal di celah—di antara daun pintu yang setengah terbuka, di antara ketukan yang tak pernah dijawab, di antara keinginan manusia untuk keluar dan rasa takut untuk melangkah.
Beberapa bilang ia dulunya adalah lelaki biasa. Seorang penghuni yang tak pernah puas dengan ruangnya sendiri. Setiap malam ia membuka pintu, mengintip kamar lain, mencari sesuatu yang lebih terang, lebih hangat, lebih manusiawi. Tapi yang ia temukan hanyalah versi lain dari dirinya—tersenyum terlalu lebar, berdiam terlalu lama, membisikkan kata-kata yang tak pernah ia pahami.
Pintu demi pintu ia buka, lorong demi lorong ia lewati, dan perlahan tubuhnya berubah. Tulang-tulangnya mulai bengkok mengikuti bentuk lorong-lorong yang sempit, kulitnya terkelupas dan menyatu dengan dinding, matanya menjadi dua cermin cekung yang memantulkan ketakutan orang lain.
Ia tidak lagi bisa keluar. Dunia menjadi barisan pintu tanpa ujung, dan dirinya adalah penjaga di antaranya. Ia tidak memburu. Ia hanya menunggu—menanti seseorang yang ragu, seseorang yang berdiri terlalu lama di depan pintu, seseorang yang mengetuk sambil bertanya adakah yang di balik sana.
Jika kau mendengar bunyi engsel di tengah malam, jangan langsung berbalik. Diamlah. Dengarkan. Jika ada napas berat seperti dari paru-paru yang basah, jika kau mencium bau jamur dan tanah basah, kuncilah pintumu dan jangan bergerak. Kadang ia hanya lewat. Kadang ia tertarik.
Pernah ada anak kecil yang membuka pintu karena mendengar suara ibunya memanggil. Ia hilang malam itu. Kamar yang ditinggalkannya masih utuh, tapi cerminnya menjadi keruh, seolah menyimpan kabut dari tempat lain. Di lantai ditemukan jejak tangan—kecil, namun bercakar. Tak pernah ada yang menyebutkan anak itu lagi. Hanya terdengar bunyi pintu bergeser pelan setiap malam, seperti napas panjang dari lorong yang tidak bisa tidur.
Beberapa mencoba meninggalkan bangunan itu, tapi entah bagaimana, mereka selalu kembali ke tempat yang sama. Seolah ruang itu menempel pada kulit mereka. Mereka berpikir telah pindah kota, pindah negeri, tapi suatu malam mereka akan menemukan pintu yang tak mereka kenali di rumah baru mereka. Dan tahu bahwa ia telah ikut serta.
Dia bukan mimpi buruk. Dia adalah celah di antara kenyataan. Bukan hantu, bukan makhluk. Dia adalah akibat dari terlalu banyak pilihan dan ketakutan untuk memilih. Ia muncul setiap kali manusia mencoba melarikan diri dari dirinya sendiri, dan mencari jawaban dari pintu-pintu yang tidak seharusnya dibuka.
Lorong itu masih ada. Pintu-pintunya masih bertambah. Dan dia masih merangkak, dari satu pintu ke pintu lain, dari satu celah ke celah lain. Ia tidak terburu-buru. Waktu tidak menyentuhnya.
Karena bagi yang hidup di antara pintu, tak ada yang benar-benar tertutup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar