Lira duduk di sebuah warung kecil yang tak lagi menjual kopi, hanya koneksi. Satu-satunya yang hangat di pagi itu adalah layar hologram murah yang menampilkan siaran media terbesar negeri ini: "Suara Rakyat, Mata Kebenaran."
Ia mengenali nama itu. Dahulu, pamannya bekerja sebagai jurnalis di sana. Dahulu, media itu digadang-gadang sebagai tembok terakhir penahan dusta. Kini, ia menjadi rumah produksi kebencian yang dipoles profesional.
Judul besar di layar: "GERAKAN AKAR TERLIBAT DALAM PEMBUNUHAN MASSA. LEBAH-LEBAH MENEMUKAN BUKTI NYATA."
Lira menatap layar tanpa ekspresi. Ia tahu: tak ada pembunuhan. Tapi publik tak butuh bukti—cukup headline yang sensasional, cukup visual tubuh dengan filter merah darah digital, cukup narasi dari “pakar netral” yang dibayar diam-diam oleh kaum Cukong.
Sang pembawa berita, mengenakan senyum empati palsu, membacakan dengan nada penuh keprihatinan:
"Mereka yang menentang pemerintah sebaiknya berpikir dua kali. Karena demokrasi tidak berarti kebebasan menyebar ancaman."
Lalu iklan muncul: minuman kaleng berlabel "SECOTANK – Rasa Kebebasan."
Lira nyaris tertawa, kalau saja tak sedang muak.
***
Di balik layar, Lira tahu siapa yang menjalankan media itu sekarang. Mereka adalah anak-anak muda yang dulu turun ke jalan membawa poster idealisme, kini duduk di ruang pendingin, menyusun narasi yang bisa mengguncang tren. Mereka tak lagi bicara soal integritas, hanya soal engagement dan monetisasi.
"Kebencian adalah komoditas," kata Elun suatu malam. "Dan kita, hanya pangsa pasar."
Di media sosial, para buzzer menggonggong seperti anjing kelaparan. Mereka tak peduli mana yang benar. Yang penting ramai. Yang penting ada yang bayar. Dengan satu retweet, mereka bisa mengubah korban jadi pelaku, dan pelaku jadi pahlawan.
Mereka menyebut dirinya "Penjaga Stabilitas." Di balik nama patriotik itu, mereka hanyalah penjilat kursi dan pecinta amplop digital.
***
Lira menatap dinding-dinding kota yang kini penuh mural aneh: wajah-wajah pahlawan baru yang tak pernah turun ke jalan, tapi viral di layar. Tokoh yang mendadak disebut "wakil rakyat", padahal tak satu pun pernah mendengar jerit rakyat.
Sementara itu, Gerakan Akar mulai kehilangan simpati. Mereka yang dulunya mendukung kini ragu. Semua karena satu gambar rekayasa. Satu video editan. Satu ucapan buzzer yang viral.
Kebenaran tak pernah punya modal iklan sebesar kebohongan.
Lira menyadari satu hal: bukan peluru yang paling mematikan di negeri ini, tapi narasi.
Dan ia mulai takut, bukan pada penguasa. Tapi pada rakyat yang percaya penguasa, percaya media, dan tak peduli kebenaran, selama bisa merasa benar.
---
Bersambung (sebisanya aja)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar