Udara di ruang persembunyian terasa lebih berat dari biasanya. Bukan karena polusi atau kabut, tapi karena kebisuan yang menebal. Gerakan Akar tak lagi sepenuhnya utuh. Bisik-bisik soal pengkhianatan mulai terdengar di sudut-sudut ruang bawah tanah yang dulunya dipenuhi semangat.
Lira tidak bicara banyak hari itu. Ia hanya mendengar.
"Semua data kita bisa dilacak," bisik Elun. "Mereka tahu rute suplai, tahu kapan kita rapat, tahu isi selebaran sebelum kita cetak."
"Drone lebah itu makin canggih," kata yang lain. "Mereka bisa meniru suara manusia. Membisikkan propaganda di telinga kita."
Tapi bukan itu yang membuat Lira ketakutan. Bukan sekadar pengawasan. Tapi pengungkapan baru dari Ibu Rata—kalimat yang mengubah seluruh cara pandangnya terhadap musuh.
“Kau tahu siapa yang membiayai teknologi lebah pengawas itu?” tanya Ibu Rata dalam gelap.
“Pemerintah?” tebak Lira.
Ibu Rata menggeleng pelan. “Kaum Cukong.”
Lira menelan ludah. Nama itu, meski tak tertulis di buku sejarah, hidup di antara cerita-cerita larangan. Cukong bukan lembaga, bukan negara, bahkan bukan manusia tunggal. Ia adalah jaring laba-laba yang tak kelihatan, duduk di belakang meja kayu tua, menghitung keuntungan dari perang dan penderitaan.
"Negara hanya pelaksana. Cukong adalah pemilik," ujar Ibu Rata. "Rezim sekarang hidup dari utang pada mereka. Proyek pembangunan, pengadaan senjata, bahkan kampanye digital… semua dalam kongkalikong."
“Lalu lebah-lebah itu?”
“Diproduksi oleh salah satu perusahaan milik mereka. Secara resmi disebut 'investor strategis'. Tapi di ruang gelap, mereka jual data warga ke pasar bebas. Bahkan ekspor ke luar negeri. Kita tak hanya dijajah, kita diperdagangkan.”
***
Keesokan harinya, sebuah video tersembunyi beredar lewat jalur offline. Rekaman dari seseorang yang menyusup ke dalam konferensi teknologi tinggi. Di sana, seorang pria berbaju necis mempresentasikan fitur baru lebah pengawas: “Modul Empati Palsu”—sebuah sistem suara yang bisa mengucapkan kata-kata penghiburan saat warga panik, sambil tetap melaporkan mereka ke pusat data.
“Cukong adalah dalang utama,” kata suara dalam video itu. “Dan rezim hanyalah badut yang berdansa sesuai irama.”
Tapi yang mengejutkan bukan itu. Di akhir video, muncullah seorang perempuan muda dengan tanda di lehernya—tanda yang sama seperti milik Ibu Rata.
***
"Bagaimana kalau Ibu Rata juga bagian dari mereka?" bisik seseorang pada malam ketiga setelah video itu beredar. “Bagaimana kalau semua ini… hanya panggung boneka lain?”
Lira kini dihadapkan pada dilema yang tak pernah ia bayangkan. Siapa kawan, siapa lawan? Di dunia tempat kebebasan dibungkam dan suara dibeli, satu-satunya kebenaran mungkin hanyalah keraguan itu sendiri.
Dan jauh di atas langit malam yang hening, satu lebah logam kecil melayang pelan—merekam segalanya.
---
Bersambung (semoga saja...)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar