Di lorong bawah tanah Gerakan Akar, Lira mulai menyadari: tempat ini bukan sekadar persembunyian. Ini adalah cermin. Dan setiap cermin, cepat atau lambat, memperlihatkan retaknya sendiri.
Elun, yang selama ini tampak berapi-api, menyimpan amarah yang lebih tua dari dirinya. Ayahnya adalah wartawan yang dihilangkan sepuluh tahun lalu. Sejak itu, Elun hidup di bawah kata-kata sunyi. Baginya, perang melawan negara bukan hanya ideologi. Itu dendam. Dan dendam adalah racun yang menyamar sebagai semangat.
"Jika kita berhasil menghancurkan pusat data CicilSejati," katanya suatu malam, "kita bisa menyalakan kekacauan total. Listrik padam. Sistem tumbang. Dan dalam gelap, kita bangun yang baru."
Tapi Ibu Rata tidak mengangguk. Ia hanya berkata lirih, “Yang tumbuh di tanah hancur, belum tentu bunga. Bisa juga ular.”
***
Sementara itu, bisik-bisik tentang kelompok lain mulai terdengar di ruang-ruang sempit. Mereka menyebut diri Barisan Api Kedua. Sebagian berasal dari elite lama, sebagian lagi merupakan kumpulan orang-orang yang pernah gagal dalam kontestasi kekuasaan. Mereka yang pernah mencoba masuk ke dalam sistem, namun ditolak, disingkirkan, atau dikalahkan. Kini, mereka menyamar sebagai penyelamat negeri.
Retorika mereka terdengar manis: “Reformasi total,” “Kembalikan demokrasi,” “Rakyat berdaulat!” Tapi di balik kata-kata itu, ada ambisi yang tidak kalah rakus. Bagi Gerakan Akar, kelompok ini bukan sekutu, melainkan bayangan cermin yang lain: berbeda bentuk, tapi sama haus.
"Jangan terkecoh oleh bendera," kata Ibu Rata. "Warna-warni mereka bukan lambang harapan. Itu kedok. Mereka ingin kursi, bukan keadilan. Mereka ingin mengganti penguasa, bukan mengganti sistem."
Namun tetap saja, sebagian rakyat mulai percaya. Dalam kemiskinan dan kelelahan, suara siapa pun yang menawarkan harapan akan terdengar seperti kebenaran. Dan itulah kekuatan Barisan Api Kedua—mereka tidak perlu jujur, hanya cukup terdengar berbeda dari rezim yang dibenci.
***
Di permukaan, keadaan semakin menyesakkan. Jurnalisme telah dijadikan kejahatan. Para pelukis ditahan karena gambar bunga bisa dianggap simbol hasutan. Penyair dibungkam karena kata-kata tak bisa dikontrol.
Sosial media tak ubahnya panggung boneka: wajah-wajah palsu dengan suara yang dibayar untuk membuat bohir tetap nyaman. Setiap kritik dibalas oleh ribuan akun tanpa nama, menyebarkan pujian buatan untuk sistem yang menindas.
Para buzzer menjadi mesin utama disinformasi. Mereka mengaburkan fakta, menyebarkan hoaks, dan menciptakan musuh-musuh fiktif. Siapa pun yang mengkritik negara akan diframing sebagai pengkhianat, agen asing, atau pemecah belah. Mereka menyulap kebenaran menjadi ancaman, dan kebohongan menjadi patriotisme.
Rakyat digiring lewat algoritma dan ilusi, percaya pada narasi yang telah direkayasa. Buzzer tak hanya menyerang lawan, mereka menciptakan kenyataan baru—kenyataan di mana penindas tampak seperti pahlawan, dan korban dianggap pembangkang yang pantas disingkirkan.
Dalam pelajaran sejarah terbaru, diktator disebut “Bapak Kesatuan”. Sementara pemberontak? Dicap sebagai “penyebar kabar bohong.”
***
Suatu malam, Ibu Rata berbicara hanya pada Lira.
“Kau tahu kenapa pemimpin serakah bisa lahir?” tanyanya.
“Karena kekuasaan merusak?” jawab Lira.
“Bukan. Karena rakyat membiarkannya. Bahkan mengidolakannya. Mereka yang mengeluh tentang pajak, kadang juga yang mencuri dalam gelap. Mereka yang marah pada korupsi, adalah yang pertama melirik amplop saat ujian.”
Lira diam. Kata-kata itu seperti cermin lain—yang memperlihatkan sesuatu yang tak ingin dilihat siapa pun.
***
Lira tidur malam itu dengan gelisah. Dunia atas dan bawah, hitam dan putih, benar dan salah—semua mulai kabur. Tapi satu hal masih jelas: kebenaran tidak tinggal di menara, dan tidak juga di bunker. Ia tinggal dalam pilihan, dan pilihan adalah hal paling langka di negeri ini.
---
Bersambung (jika kober)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar