Ia tak lagi tahu bagaimana suara ibunya terdengar. Hanya bayangan samar—sepasang tangan yang gemetar ketika menyisir rambutnya, wajah pucat di ambang pintu saat segerombolan petugas tak berseragam datang tanpa salam. Ibu tak pernah pamit. Hanya menghilang. Bersama suara radio rusak yang sore itu memutar lagu patriotik dengan nada cacat.
Ayahnya… adalah teka-teki yang lebih dingin dari bangsal interogasi.
Lira tak pernah benar-benar mengenalnya. Orang-orang bilang ia dulunya tokoh penting. Pernah memimpin unit rahasia negara—semacam direktorat bayangan yang tak tercantum dalam struktur resmi. Tapi sejarah seperti milik Lira tak tertulis di buku. Ia harus menyusunnya sendiri, potongan demi potongan, dari arsip-arsip mati, dari memoar palsu, dan dari ingatan samar warga yang takut bicara.
Surat itu bukan hanya warisan. Ia adalah peringatan. Di dalamnya tertulis, dengan tulisan tangan tergesa:
"Jika kau membaca ini, maka sistem sudah lepas kendali. Jangan percaya pada dua kubu yang saling mengklaim membela rakyat. Keduanya sama rakus, hanya beda giliran.”
Lira baru berumur sepuluh saat surat itu ia temukan. Tapi sejak hari itu, ia tak pernah lagi menjadi anak-anak. Dunia terlalu sempit untuk kepolosan. Ia dijemput oleh seorang lelaki tua dengan mata berkantung dan lengan penuh luka bakar. Lelaki itu mengaku teman ayahnya. Ia memperkenalkan diri hanya dengan satu nama: Tembus.
Tembus membawanya ke tempat yang tak ada di peta. Sebuah desa tua yang dijaga oleh sinyal pengacau, di mana lebah pengintai kehilangan arah. Di sana, Lira belajar banyak hal: membaca kode, memahami propaganda, mengenali retorika para politisi dan wajah-wajah palsu dari kelompok “penyelamat rakyat” yang ternyata hanya haus kuasa.
Barisan Api, misalnya, adalah kelompok yang nyaring menyerukan demokrasi. Tapi Tembus memperingatkan:
“Mereka bukan korban. Mereka hanya anak-anak manja yang dulu ikut berpesta. Ketika tak lagi dapat bagian, mereka berteriak dirampas.”
Lira tumbuh dalam ketidakpercayaan. Tapi dari serpihan-serpihan itulah ia mulai membentuk kepercayaannya sendiri. Ia mempelajari mesin, membongkar lebah pengawas, dan menemukan bahwa teknologi itu tak murni ciptaan negara. Ada logo kecil di dalam inti chip: sebuah simbol perusahaan. Cukong Inc. Begitu Tembus menyebutnya.
“Negara hanya pengelola kebun. Tapi lebah-lebah ini? Milik cukong.”
Waktu terus berjalan. Lira menjelma remaja yang dingin dan tak banyak bicara. Ia bergabung sebentar dengan akademi negara, menyamar sebagai siswa unggulan. Tapi ia tak tahan lama. Ketika mulai melihat bagaimana anak-anak seusianya diajari untuk membungkam bukan bertanya, ia kabur. Membakar data dirinya. Menghilang dari sistem.
Kini, bertahun-tahun setelahnya, Lira berdiri di kamar sempit tempat ia menyimpan sisa masa lalu: surat ayahnya, potongan foto ibunya, dan satu fragmen lebah pengintai yang telah ia rusak dengan asam.
Di luar jendela, layar-layar digital memutar propaganda terbaru. Para buzzer—manusia tanpa wajah dan akun tanpa nama—menyebarkan fitnah baru, hoax baru, histeria baru. Kebenaran tidak lagi penting. Yang penting: keterbelahan. Kekacauan adalah pasar, dan kebencian adalah barang dagangan. Media ikut menjualnya. Dulu bernama idealis, kini jadi penjaja klik dan pembakar emosi massal.
Lira menyimpan semua itu dalam diam. Ia tak lagi percaya pada suara lantang. Ia hanya percaya pada kerja yang senyap dan menusuk.
Malam itu, ia memotong rambutnya. Menghapus jejak. Dan sebelum keluar rumah, ia melihat pantulan wajahnya di cermin.
Mereka menyebut masa itu sebagai masa tenang.
Tidak ada ledakan. Tidak ada demonstrasi. Tidak ada wajah-wajah berdarah di layar kaca. Hanya deru drone yang semakin pelan, dan suara pelan penyiar berita yang seolah meninabobokan: "Negara dalam kondisi stabil. Pemerintah bekerja maksimal demi rakyat."
Tapi kepala Lira tidak tenang.
Sejak kecil, ia belajar membaca bahasa diam. Ibunya yang selalu bicara sambil mencuci piring, ayahnya yang tak pernah menjawab langsung—hanya dengan helaan napas atau desahan kecil. Di antara sunyi itu, Lira belajar bahwa kebohongan bukan selalu tentang kata, melainkan apa yang dipilih untuk tidak diucapkan.
Ayahnya dulu bekerja sebagai “konsultan keamanan informasi.” Itu nama samar untuk apa yang ibunya sebut dengan getaran takut: “Intel.”
Sebelum menghilang, ayahnya pernah berkata pelan:
“Jangan percaya semua yang kau baca. Jangan percaya semua yang kau lihat. Tapi dengarkan suara yang tak boleh terdengar.”
Dan suara itu, perlahan, justru tumbuh di kepala Lira.
Ia menyaksikan sendiri ketika ibunya kehilangan pekerjaan karena me-like status seseorang yang dianggap “anti negara.” Ia mendengar cerita tentang sepupunya yang dibawa entah ke mana karena tertangkap kamera drone mencoret mural “Hidup Tak Harus Tunduk.” Ia merasakan gigil ketika tetangganya dipaksa menonton siaran klarifikasi di TV setelah salah mengirim emoji.
Ketika Lira tumbuh dewasa, negara tumbuh semakin gila.
Tapi gila yang terorganisir. Gila yang punya prosedur. Gila yang dibungkus tata krama digital dan merchandise nasionalisme.
Ia sempat sekolah, sempat bekerja. Tapi semuanya hanya perpanjangan dari sistem yang sedang sekarat namun bersolek. Ia tahu itu. Semua tahu. Tapi hanya sedikit yang bisa bertindak.
Karena bertindak berarti hilang. Atau lebih buruk: menjadi paria dalam sistem yang hanya mengenal satu dosa—tidak taat.
Dalam sunyi itu, Lira menulis. Bukan puisi. Bukan artikel. Tapi kode. Potongan enkripsi. Bypass untuk sistem pemantau. Algoritma pencampur suara. Ia belajar sendiri. Atau lebih tepatnya: ia diwarisi kemampuan ayahnya—dan mewariskan luka ibunya.
Semua itu bukan untuk perang. Tapi untuk satu hal: menjadi tak terlihat.
Dan dalam ketaknampakan itu, ia mulai menyusun cerita: tentang siapa yang benar-benar membunuh demokrasi. Tentang media yang menjual marah. Tentang rakyat yang memilih dijajah demi kenyamanan.
Ia tak lagi percaya pada suara lantang. Ia hanya percaya pada kerja yang senyap dan menusuk.
Malam itu, ia memotong rambutnya. Menghapus jejak. Dan sebelum keluar rumah, ia melihat pantulan wajahnya di cermin.
Wajah ayahnya, mungkin. Atau bayangan ibunya. Tapi di balik itu semua: seorang anak kecil yang telah kehilangan semuanya, dan tak berniat meminta kembali—hanya ingin membuat sistem merasa kehilangan juga.
Di malam berikutnya, ia bertemu dengan AKAR.
Mereka bukan yang terbaik. Mereka pun punya cela. Tapi di antara banyak pilihan buruk, merekalah yang tak menjanjikan surga—hanya luka yang tak ingin diwariskan.
Dan itu cukup.
---
Bersambung (bila masih ada waktu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar