Sarang Dalam Bayangan - awanbyru.com

April 16, 2025

Sarang Dalam Bayangan

Gedung tua itu dulunya gedung arsip, kini hanya puing. Tapi di bawah tanahnya, lorong-lorong dingin masih menyimpan kehidupan lain—kehidupan yang menolak tunduk.

Di sanalah Lira berjalan, langkahnya bergema di antara pipa-pipa karatan dan dinding penuh coretan kode. Tak ada tanda resmi. Tak ada nama organisasi. Hanya obrolan yang berbisik lewat jalur-jalur frekuensi pendek, isyarat yang dipancarkan dalam gelombang bunyi yang terdengar seperti gemuruh mesin pendingin. Mereka yang masih berpikir, begitu kata sandinya.

Mereka bukan bagian dari AKAR. Mereka bukan Barisan Api. Mereka bahkan tak punya nama.

Karena nama akan dibeli,” kata Tembus suatu waktu. “Dan yang tak bernama, tak bisa dipenjarakan.

Lira berdiri di depan meja baja. Di hadapannya, beberapa pemuda dan satu perempuan tua yang dikenal sebagai Pemanggang—bukan karena senjata, tapi karena kemampuan memanggang berita palsu menjadi serpihan fakta. Mantan editor surat kabar bawah tanah sebelum medianya dibakar massa yang sudah termakan hoax.

Di dinding belakang, terpampang sketsa-sketsa wajah tanpa nama. Semua ditandai warna merah—termasuk beberapa eks anggota AKAR.

Mereka berkhianat,” kata Pemanggang. “Sudah kita duga. Barisan Api mengklaim sedang menegosiasikan transisi kekuasaan—tapi kenyataannya mereka sedang menjual posisi kepada Cukong.

Lira menatap layar kecil yang menampilkan peta panas media sosial. Jaringan buzzer milik negara dan swasta bergerak seperti kawanan lebah liar. Menghembuskan isu, memperkeruh narasi, membelokkan fakta. Sekejap satu topik menjadi kemarahan nasional, sejam kemudian lenyap digantikan rumor murahan yang lebih sensasional: Kepala Daerah selingkuh, sebaran video porno baru, atau pagelaran konser seni yang sama sekali tidak berseni. Semua digerakkan oleh algoritma uang dan kebencian.

Ini bukan lagi perang peluru,” gumam Lira, “Ini perang makna.

Ia menunjuk satu titik: akun palsu yang dalam dua hari berhasil menggiring opini bahwa AKAR adalah musuh negara, lalu keesokan harinya menggiring opini sebaliknya. Tidak ada kebenaran, hanya siapa yang membayar lebih mahal.

Lira tahu waktunya semakin sempit.

Mereka butuh gerakan tanpa bentuk. Bukan kerumunan yang bisa disusupi, bukan demonstrasi yang bisa diarsipkan. Tapi pesan yang menyebar seperti virus, menggoda rasa ingin tahu, memicu pertanyaan, bukan instruksi.

Dan malam itu, mereka menyiapkan pesan pertama.

Hanya satu kalimat, disematkan dalam iklan lowongan kerja, disebar lewat status-status pribadi, dikirim lewat pulsa radio tua yang masih bersisa di desa-desa.

“Apakah lebah-lebah itu bekerja untuk ratu, atau untuk madu?"

---

Bersambung... 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar