Bayangan yang Menyusup - awanbyru.com

April 17, 2025

Bayangan yang Menyusup


Lira memandangi dirinya dalam seragam. Potongan kain sintetis itu menempel seperti kulit kedua—rapi, steril, tak berjiwa. Setiap helai benangnya dipintal oleh tangan-tangan yang tak terlihat, namun kuasanya merasuk seperti doktrin. Ia bukan lagi Lira si pengelana. Dalam identitas barunya, ia adalah Letnan Muda N-71, lulusan akademi dengan catatan sempurna dan loyalitas tanpa cacat.

Setidaknya begitu sistem mengenalnya.

Tapi sistem tak pernah benar-benar melihat. Sistem hanya mengenali angka, pola, dan prediksi. Tak pernah curiga pada yang terlalu sempurna, karena kebusukan lebih mudah dikenali dalam kekacauan.

Setiap pagi, ia berdiri dalam apel barisan, diapit oleh wajah-wajah yang menengadah pada langit sambil memekikkan janji kesetiaan. Di malam hari, ia sendiri. Duduk dalam kamar steril, menatap bayangannya di permukaan jendela—refleksi yang perlahan membelah, seperti cermin tua yang tak tahan beban rahasia.

Ia mulai bermimpi. Tentang rumah lama. Tentang suara ibunya yang mungkin tidak pernah ia hafal, tapi dalam mimpi, suara itu datang jelas—menyanyi pelan di dapur yang dingin. Di ujung nyanyian itu selalu ada pintu yang terbuka paksa. Dan lengking peluru.

Lira bangun dengan napas tertahan. Berkeringat. Tapi di luar, lebah-lebah logam tetap terbang dalam formasi, menyanyikan lagu pujian untuk stabilitas dan kemajuan.

Ada hari-hari ketika ia merasa terlalu dalam menyelam. Peran itu bukan lagi topeng, melainkan lapisan kulit yang baru. Ia berbicara dalam bahasa rezim, mengutip doktrin dengan lancar, memimpin operasi razia disinformasi—ironisnya, sambil diam-diam menyelundupkan data ke dalam jaringan bawah tanah.

Pada hari ke-106 penyamarannya, ia diperintahkan memimpin misi penggerebekan markas simpatisan Barisan Api. Ia tahu siapa yang akan ditangkap—orang-orang yang, meski rakus akan kuasa, sebenarnya juga diburu oleh ketakutan yang sama. Sistem menganggap mereka musuh, tapi Lira melihat mereka sebagai cermin yang retak: merefleksikan kemungkinan dirinya di jalur yang berbeda.

Saat seorang remaja tanggung meronta dengan mata membelalak ketakutan, Lira ragu. Itu bisa saja dirinya, di masa lalu. Tapi keraguan hanya muncul sekejap, lalu mati oleh protokol.

“Laksanakan perintah. Tunda empati. Jangan identifikasi manusia, cukup deteksi ancaman.”

Begitu bunyi mantranya.

Namun empati bukanlah benda yang bisa dibunuh hanya dengan repetisi. Ia mengendap-endap, tumbuh di sela protokol. Setiap wajah yang ia tangkap, setiap berita yang ia tonton di ruang brifing, memperkuat rasa bahwa dunia telah kehilangan kompas moral. Yang tersisa hanya labirin—dan ia sedang berjalan di dalamnya, dengan setengah sadar telah menjadi minotaurnya sendiri.

Lira mencatat semuanya dalam pikirannya. Ia tak berani menulis, bahkan di jaringan terenkripsi. Satu-satunya tempat yang aman kini adalah pikirannya sendiri, meski ia tahu cepat atau lambat, lebah-lebah itu juga akan bisa membaca mimpi.

---

Semua penyusupan dimulai dari dalam.

Bukan dari lubang ventilasi atau kabel yang dibobol. Tapi dari lubang kecil di hati manusia—retakan yang tak terlihat, tempat suara-suara asing bisa masuk dan tinggal. Lira tahu itu. Ia merasakannya sendiri. Bukan hanya karena ia menyusup ke sistem. Tapi karena sistem pun telah menyusup ke dalam dirinya.

Sejak masuk ke ruang pusat data milik kementerian algoritma, Lira seperti berjalan di dalam ruang bawah tanah ingatan. Semua data mengalir begitu cepat. Ratusan nama, wajah, sejarah kecil yang tak pernah dipublikasikan—semuanya terdokumentasi rapi. Seolah kehidupan manusia tak lebih dari log harian yang bisa dipindai dan dipilah.

Ia mulai bertanya-tanya:  
Apakah dirinya juga pernah dibaca oleh mesin-mesin ini? Apakah kenangan masa kecilnya hanyalah data yang disimpan, bukan sesuatu yang dimiliki?

Rasa curiga mulai tumbuh, tak hanya pada sistem, tapi juga pada dirinya sendiri.

Di balik konsol dingin yang memancarkan cahaya kebiruan, Lira duduk dalam senyap. Tangannya bekerja, tetapi pikirannya bergetar. Setiap data yang ia lihat bukan hanya pengkhianatan yang terbongkar atau korupsi yang disembunyikan, tapi juga semacam cermin—yang memperlihatkan betapa miripnya manusia satu dengan yang lain ketika diberi kuasa.

“Jika semua pemimpin berakhir menjadi penindas, lalu siapa yang sebenarnya membentuk mereka begitu?”

Pertanyaan itu tak lepas dari kepalanya. Ia teringat Tembus, yang dulu mengajarinya bahwa kejahatan tak selalu memakai seragam. Kadang ia datang dalam bentuk janji yang terlalu indah. Kadang dalam nama rakyat. Kadang dalam dirinya sendiri.

Setiap malam, ketika tugasnya selesai dan identitasnya kembali tersembunyi di balik kartu staf palsu, Lira pulang ke kamar kontrakan kecil berlampu redup. Di sana, ia menatap dinding kosong dan merasa semakin sulit membedakan antara misi dan obsesi.

Bayangan-bayangan masa lalu mulai menyusup.

Suara ibunya—yang tak jelas apakah nyata atau hanya diciptakan otaknya sendiri—mulai berbisik di kepala.

“Hati-hati, Nak. Orang-orang yang ingin memperbaiki dunia, kadang hanya ingin membalas dendam.”

Lira belum pernah merasa selelah ini. Tapi ia juga belum pernah sedekat ini dengan inti sistem.

Satu sisi dirinya ingin menghancurkan semuanya. Menyalakan revolusi dari dalam, seperti api kecil yang menjalar dari kabel rusak. Tapi sisi lain—sisi yang tumbuh dari luka masa kecil dan tahun-tahun persembunyian—justru takut.

Takut jika semua ini hanya akan melahirkan kekuasaan baru. Topeng lama dengan wajah berbeda.

Di jam-jam terakhir sebelum tidur, Lira mulai menulis. Bukan pesan revolusi. Tapi catatan untuk dirinya sendiri. Tentang keraguan. Tentang bagaimana kebencian bisa menyaru menjadi tekad. Dan bagaimana keyakinan bisa menjadi tirani bila tak dikendalikan.

Ia tahu tak bisa berhenti sekarang. Tapi ia juga tahu, semakin dalam ia menyusup, semakin kabur bayangan siapa dirinya sebenarnya.

Di layar laptopnya, peta digital kota terbuka. Titik-titik merah menandakan sarang lebah pengawas. Tapi Lira menatapnya bukan sebagai target. Ia menatapnya seperti cermin: memantulkan jalan yang telah ia tempuh.

Bayangan yang menyusup itu kini bukan lagi hanya strategi. Tapi bagian dari jiwanya. Dan ia harus memilih: menjadi pengendali… atau dikendalikan.

---

Bersambung (kalau udah nggak bingung) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar