Pukul 03.24. Kota belum bangun, tapi yang hidup bukan hanya mesin patroli dan kamera mata-tikus. Di bawah kompleks perbelanjaan mewah—tempat orang elite membeli rasa aman—ada ruang bekas saluran limbah yang berubah fungsi. Bau besi tua dan oli basi menggantung di udara, bercampur dengan bisik-bisik manusia yang dilupakan sistem.
Lira berdiri di sana, tak lagi sebagai Letnan Muda N-71. Seragamnya tertinggal di loker apartemen pemerintah. Malam ini ia hanya mengenakan jaket lusuh dan penutup wajah tipis. Di hadapannya, seorang perempuan dengan jari-jari logam menyolder panel kecil, matanya berkabut tapi tak kehilangan ketajaman.
“Mak Gin,” sapa Lira pelan.
“Kalau kau bawa lebah di sepatumu, jangan harap bisa keluar hidup-hidup,” balas Mak Gin tanpa menoleh.
Lira melempar satu perangkat jam tangan kecil ke lantai, memecahkannya. Pemindai mikro-grafik, biasanya diselipkan di perlengkapan staf kementerian. Isyarat perdamaian.
Mak Gin akhirnya menoleh. “Jadi kau yang disebut Tembus sebagai ‘jantung berlapis baja’? Aku bayangkan lebih besar.”
“Aku tak sedang cari pujian.”
Mak Gin tertawa kering, menyambung kabel. “Tak ada yang cari pujian ke tempat kayak gini. Semua yang datang cuma bawa dua hal: kemarahan… atau harapan yang nyaris habis.”
Lira terdiam.
Teknologi Baru, Ancaman Baru
Lira menaruh chip data yang ia selundupkan dari kementerian di meja logam. Hologram biru pucat menyala, menampilkan model lebah pengawas generasi ke-4: kecil, senyap, dilengkapi sensor frekuensi emosi dan sistem evaluasi mikro-ekspresi.
Mak Gin mengerutkan kening. “Mereka benar-benar ingin masuk ke dalam pikiran orang. Ini bukan pengawasan lagi. Ini eksorsisme sipil.”
“Kalau prototipenya aktif,” kata Lira, “gerakan bawah tanah akan habis. Bahkan yang belum lahir.”
Mak Gin mengangguk. “Kita harus curi inti pusatnya sebelum uji coba resmi.”
“Tiga hari,” lanjut Lira. “Setelah itu, mereka distribusi ke 17 distrik.”
Mak Gin menyeringai. “Kalau begitu, kita mulai merekrut.”
Rekrutmen
Malam berikutnya, di zona industri bawah tanah, Lira mendekati Koma Simat. Dulu wajahnya dikenal di seluruh siaran berita—juru bicara elite, pengatur narasi. Kini, ia hidup dari membuat suara-suara palsu untuk orang yang ingin menghilang dari radar.
“Kau gila,” katanya saat melihat data lebah generasi baru. “Tapi aku juga muak hidup normal di neraka kecil ini.”
“Kau punya syarat?”
“Kalau gagal, jangan biarkan aku ditangkap hidup-hidup.”
Lira tak menjawab. Ia hanya menatap matanya, dan Koma mengerti: itu janji yang diam-diam dibuat oleh orang yang tak ingin mengulang masa lalu.
Tim kecil itu tumbuh:
- Satu penyusup sistem jaringan listrik, bernama Pakel, mantan teknisi kota yang pernah membocorkan rute pelarian imigran ilegal.
- Satu eks-kurir data rahasia, Lika, yang pernah bekerja untuk rezim sebelum dikhianati oleh suaminya sendiri—seorang agen.
Mereka bukan pahlawan. Tapi mereka semua punya luka yang tak pernah didata. Dan itu cukup.
Persiapan
Mereka latihan di lorong bekas rel trem tua. Pakel menciptakan medan sinyal palsu, Koma menyimulasikan suara petinggi kementerian untuk mengelabui kontrol keamanan, Lika memetakan jalur masuk dari ventilasi karbon.
Di tengah-tengah pelatihan, Mak Gin duduk sambil menatap langit-langit beton.
“Kalian tahu,” katanya, “sistem ini dibangun bukan untuk bertahan seratus tahun. Tapi untuk membuat orang percaya tak ada jalan keluar. Itulah kekuatan sebenarnya.”
Lira mencatat itu dalam benaknya. Bukan untuk propaganda. Tapi untuk mengingat: musuh utama bukan lebah, bukan Cukong, bahkan bukan Presiden. Tapi rasa percaya bahwa tak ada yang bisa diubah.
Malam Sebelum Pencurian
Lira kembali ke apartemennya yang steril. Ia mengenakan kembali seragam Letnan Muda N-71 untuk terakhir kalinya, berdiri di depan cermin.
Refleksi itu kini terasa asing. Tapi juga diperlukan.
Ia tak bisa kembali menjadi anak kecil yang bermimpi tentang keadilan. Tapi ia juga tak bisa sepenuhnya menjadi alat kekuasaan. Di antara dua kutub itu, ia memilih menjadi bayangan—cukup tak terlihat untuk menembus dinding, cukup tegas untuk menyalakan api.
Sebelum tidur, ia menulis:
“Ini bukan misi penyelamatan. Ini pengingat. Bahwa dalam sistem paling sempurna pun, selalu ada retakan kecil tempat cahaya menyelinap.”
Dan ketika ia memejamkan mata, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia bermimpi bukan tentang rumah yang terbakar… tapi tentang jendela yang terbuka.
---
Bersambung (kapan-kapan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar