Retakan yang Bergerak Pelan - awanbyru.com

April 19, 2025

Retakan yang Bergerak Pelan

Lorong latihan hari itu sunyi, tapi ketegangan menggantung seperti kabel yang siap putus. Pipa-pipa tua meneteskan air dari langit-langit, menciptakan ritme yang aneh, seperti detak jantung yang menunggu sesuatu meledak.

Lira berdiri memantau. Tapi bukan pelatihan yang ia perhatikan, melainkan bagaimana timnya mulai berubah.

Koma Simat berdiri paling ujung, memutar ulang suara Menteri Informasi sebanyak delapan kali, suaranya makin parau.

Masih terlalu datar. Kalau nadanya nggak pas, pemindai suara bakal baca ini sebagai tiruan murahan,” gumamnya.

Lika, yang sedang menyolder jalur komunikasi portabel, tak menoleh.

Kau cerewet seperti buzzer kampus. Suara bisa dimodulasi. Tapi ego? Itu yang bikin suara palsu jadi nyata,” ucapnya dingin.

Koma melemparkan solder ke meja. “Kau pikir ini tentang ego?

Tidak. Ini tentang kau yang masih belum bisa menerima kalau kau pernah jadi mulut mereka,” balas Lika tajam.

Ketegangan naik. Pakel, yang sedari tadi diam, akhirnya bicara sambil membetulkan kacamata las-nya.

Kalau kalian mau adu luka, pilih tempat lain. Di sini kita nggak sedang cari simpati. Kita cari jalan keluar.

Mak Gin mengamati dari kejauhan, bibirnya menekuk sedikit. “Luka tak pernah netral. Tapi kalau terlalu sibuk menjilatnya, kalian akan mati sebelum sempat menggunakannya.

Malam itu, di tempat tidur darurat yang hanya dibatasi tirai kain, Lira mencatat dalam jurnalnya:

"Mereka datang dari reruntuhan yang berbeda. Tapi reruntuhan tetaplah reruntuhan—tajam, tidak stabil, dan bisa saling menyakiti."

Keesokan paginya, Mak Gin membawa mereka ke ruang kecil, dindingnya penuh coretan strategi lama. Di tengah ruangan ada satu meja bulat. Di atasnya: satu roti, empat cangkir air, dan satu rekaman video.

Rekaman itu memperlihatkan operasi pemburuan seorang anggota Barisan Api Kedua—terakhir yang tersisa. Kamera memperlihatkan wajahnya jelas. Ia ditembak, lalu dikabarkan "bunuh diri di tahanan".

Koma mengenali pria itu. Dahulu rekan debatnya. Di layar, tubuh itu jatuh ke lantai dengan suara tumpul yang terlalu hening.

Tak ada yang bicara selama lima menit.

Lalu Pakel memecah kesunyian.

Kita harus berhasil. Bukan karena kita benar. Tapi karena mereka bahkan tidak beri kita ruang untuk salah.

Dan malam itu, sesuatu berubah. Bukan menjadi utuh, tapi menjadi cukup kuat untuk bergerak.

---

Bersambung (kalau bisa gerak) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar