Lorong rel trem tua menjadi tempat rutinitas baru. Suara sepatu berlari, gesekan kawat, dan bisikan strategi menggantikan lengkingan logam dan peluit patroli. Tapi bukan pelatihan yang paling berat—melainkan belajar mempercayai satu sama lain, di dunia yang telah lama merusak definisi kata "kawan".
Pakel selalu datang paling awal, tangannya menguji panel listrik yang ia modifikasi menjadi pemutus sinyal darurat. Ia bekerja dalam diam, tapi matanya menyimpan waspada.
“Dia pernah menjual peta pelarian ke dua pihak,” bisik Lika suatu malam pada Lira. “Kau yakin dia tak akan jual kita juga?”
Lira hanya menatapnya sejenak. “Karena dia tahu: sistem ini tak akan biarkan kita hidup dua kali.”
Koma Simat punya gaya lain. Suaranya paling keras, paling sering membuat lelucon tentang kematian.
“Aku rekam suaramu tadi pagi,” kata Koma ke Pakel. “Kalau kau mati duluan, aku bakal nyetel itu tiap malam biar tetap rame.”
Pakel hanya melirik, lalu menjawab tanpa ekspresi, “Kalau aku mati, matikan listrik dulu. Biar kita semua ikut.”
Semua terdiam. Lika mendesah. “Lucu ya. Kita semua punya alasan untuk hidup, tapi lebih akrab dengan cara-cara mati.”
Mak Gin kadang duduk di pinggiran, memperbaiki sensor detak atau menanam malware ke dalam mainframe simulasi.
“Manusia paling sulit diprediksi itu bukan agen pemerintah,” katanya sekali. “Tapi mereka yang sudah kehilangan semuanya. Karena yang seperti itu... tak lagi takut rugi.”
Suatu malam, saat hujan mengguyur atap beton, Lira memergoki Koma duduk sendiri, membakar kartu identitas lamanya.
“Kenapa dibakar?” tanya Lira.
Koma menoleh, matanya sayu tapi tenang. “Aku dulu bisa bikin jutaan orang percaya bahwa langit itu merah, dan bumi itu musuh. Sekarang aku bahkan tak yakin suaraku sendiri benar.”
Lira duduk di sampingnya.
“Apa kau yakin pada misi ini?” tanya Koma.
“Aku tak yakin pada hasilnya,” jawab Lira jujur. “Tapi aku yakin bahwa tidak melakukan apa-apa lebih kejam dari gagal.”
Pagi berikutnya, saat Lika terlambat datang dan sempat disergap lebah patroli kecil, Pakel-lah yang menariknya masuk ke lorong dan memutus sinyal.
“Terima kasih,” ucap Lika sambil terengah.
“Jangan berterima kasih,” kata Pakel datar. “Aku cuma belum bisa kerja sendiri.”
Namun Lira melihat cara Pakel menatap luka di lengan Lika. Bukan tatapan netral. Tapi sesuatu yang mirip dengan... beban yang ingin ditebus.
Retakan kecil itu, kecurigaan yang belum sembuh, luka yang belum kering—justru menjadi tali yang mempersatukan. Bukan kepercayaan buta, tapi keberanian untuk mengakui bahwa masing-masing dari mereka pernah patah. Dan tetap memilih melangkah.
Malam menjelang aksi tinggal dua hari lagi.
Di dinding lorong, Lira menggambar garis besar markas pusat lebah generasi keempat. Di bawahnya, ia menulis dengan kapur:
“Kita bukan tim terbaik. Tapi kita satu-satunya yang tahu: sistem tak bisa ditumbangkan oleh yang sempurna, melainkan oleh yang tak lagi takut jadi pecahan.”
---
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar