Di pinggir Desa Cipeundeuy, Sukabumi Selatan, tahun 2019, seorang petani menemukan sehelai rambut tersangkut di pagar kawat pembatas kebun dan jalan setapak. Tak ada auman, tak ada jejak cakar. Hanya rambut. Sunyi. Tapi sunyi yang kelak menggetarkan lembaga negara.
Rambut itu sampai ke tangan Wirdateti, peneliti dari Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi BRIN. Ia bukan ilmuwan kemarin sore. Selama bertahun-tahun, Wirdateti menyusun teka-teki tentang binatang yang katanya sudah punah itu. Hasil uji DNA pun keluar: 97 persen kemiripan genetik dengan spesimen Panthera tigris sondaica dari tahun 1930 yang disimpan di Museum Zoologicum Bogoriense.
Apakah ini berarti harimau Jawa masih hidup?
Tidak ada perayaan. Tidak juga deklarasi resmi. Negara seakan enggan bersuara lebih keras dari desau angin. Mungkin karena mengakui harimau itu masih hidup, berarti mengakui bahwa hutannya masih ada. Dan kalau hutannya masih ada, maka pertanyaan berikutnya akan mengarah pada: siapa yang sedang menggerusnya?
Saat ini, hanya sekitar 19,5 persen dari total Pulau Jawa yang masih tersisa sebagai kawasan hutan dengan tutupan vegetasi alami. Artinya, dari sekitar 12,8 juta hektare, hanya 2,5 juta hektare yang masih berfungsi sebagai benteng kehidupan, paru-paru tersisa yang tak sepenuhnya lega menghela.
Tapi siapa yang berani menyentuh angka-angka itu di forum politik? Para pemangku kebijakan terlalu sibuk menyusun proyek strategis, sementara di layar televisi, manusia jatuh cinta di kebun teh dan resor puncak gunung. Harimau? Ah, itu urusan masa lalu.
Di lereng Gunung Raung, orang tua masih cerita tentang macan alas. Bukan sekadar harimau. Tapi penjaga. Penyeimbang. Bila kamu masuk hutan dengan niat buruk—menebang, merusak, atau mengambil lebih dari yang perlu—macan alas akan muncul. Tidak selalu dengan cakar. Kadang hanya dengan suara, atau jejak yang tak bisa dijelaskan.
Dari Banyuwangi, kisah tentang Mat Peci masih hidup dalam percakapan warung. Ia pemburu legendaris yang konon pernah menghadapi harimau besar yang tak mati walau sudah dua kali ditembak. “Itu bukan harimau biasa,” kata warga. “Itu titisan leluhur hutan.” Mat Peci akhirnya meletakkan senapan. Ia paham, tak semua yang bisa diburu, harus diburu.
Di Priangan, orang-orang tua dulu menyebut wilayah tertentu sebagai leuweung larangan—hutan larangan. Tempat yang bahkan kolonial pun malas masuk. Karena di sana, harimau adalah pertanda, bukan hama. Kalau ia datang ke kampung, itu artinya manusianya yang sedang keliru.
Harimau Jawa resmi dinyatakan punah sejak 1980-an. Tapi sejarah tak pernah benar-benar menghapus jejak. Di masa kolonial, ia diposisikan sebagai ancaman. Dalam arsip Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië, edisi 1903, pemerintah kolonial menjanjikan hadiah besar bagi siapa pun yang berhasil membunuh atau menangkap harimau. Kepala harimau adalah trofi; tanda penaklukan atas yang liar.
Logika kolonial itu kita warisi hingga kini: hutan untuk ditebang, binatang untuk dikurung, sunyi untuk dilupakan. Dan kini kita hidup dalam versi baru dari zaman itu—dengan rapat legalisasi, dokumen AMDAL manipulatif, dan pelan-pelan, nyawa yang tak terdaftar.
Saya tidak tahu apakah harimau itu benar-benar masih ada. Tapi saya percaya, di setiap deru gergaji dan garis kuning proyek, ada sesuatu yang dicabut dari ingatan kita. Dan mungkin, seekor harimau tua sedang berjalan pelan, melewati batas sengon dan nyamplung, tidak untuk membalas. Tapi hanya ingin memastikan: bahwa kita belum sepenuhnya kehilangan akal dan rasa.
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar