awanbyru.com

Juni 19, 2025

Mata Sapi, Tapi Bukan Telurku!

Kamis, Juni 19, 2025 0
Mata Sapi, Tapi Bukan Telurku!
Di sebuah desa kecil di lereng pegunungan, hidup seekor sapi bernama Paijo. Paijo terkenal karena senyum lebarnya yang bisa menyembuhkan patah hati. Tapi suatu hari, dunia berubah bagi Paijo—sejak istilah "telur mata sapi" viral di medsos.

"Penipu! Pencuri nama!" teriak Mbok Seruni, ayam betina senior yang bertugas jaga kandang setiap pagi.

"Ngaku aja, Jo! Itu telur kami, kenapa nama kamu yang dipakai?!" sahut Ceu Ranti, ayam botak bekas rontok bulu musim lalu.

Saban pagi, kandang ayam jadi tempat orasi, bukan lagi tempat bertelur. Mereka mogok produksi. Harga telur naik, warga resah. Semua menyalahkan satu sapi yang tidak tahu apa-apa.

"Tapi aku bahkan nggak ngerti kenapa dinamain begitu," bela Paijo, sambil menatap nanar ke arah sawah, "Aku kan nggak pernah naro telur di mataku..."

Namun hari nahas itu datang. Seekor ayam nekat, si Tika, diam-diam menaruh dua telur goreng di mata Paijo yang sedang tidur siang. Lalu dia ambil foto, unggah ke media sosial dengan caption:

“Akhirnya ketahuan! Inilah mata sapi yang asli!”

Foto itu viral. Paijo jadi meme nasional. Wajahnya terpampang di warung kopi, di stiker helm, bahkan dijadikan template poster caleg lokal.

Ayam-ayam makin murka. "Itu bukti visual! Dia sengaja pakai telur di matanya!"

Paijo pun depresi. Ia menyingkir ke pinggir sawah dan konsultasi ke kambing tua bernama Mang Dukun.

"Sebenarnya kamu bisa tuntut mereka balik," kata Mang Dukun, "karena kamu sapi, bukan chef!"

Tapi Paijo memilih damai. Dia kembali ke ladang... sambil memakai dua telur mata sapi sungguhan di matanya.

Ketika warga bertanya kenapa dia tak pakai kacamata seperti kuda, Paijo menjawab lirih sambil tersenyum lebar:

"Karena kuda cuma nutup samping. Aku butuh nutup kenyataan."

Sejak itu, Paijo hidup sebagai ikon humor nasional. Ayam-ayam akhirnya menerima kenyataan: meski mereka bertelur, kadang branding bisa lebih kuat dari kontribusi.

Dan Paijo? Ia menulis buku:
“Telur Mata Sapi: Sebuah Pengakuan dari Seekor Korban Branding.”

Laris manis. Dicetak ulang 7 kali.


Juni 17, 2025

Chronophage

Selasa, Juni 17, 2025 0
Chronophage



Waktu tidak berputar. Ia menggeliat.

Di dalam jam emas itu, tersembunyi rahang purba—
makhluk dari zaman sebelum angka dikenal.

Ia menunggu tepat di antara detik kedua dan ketiga,
lalu menyergap:
bukan menit, bukan jam,
tapi kenangan yang lengah.

Tangannya tak terbuat dari logam,
melainkan dari penyesalan yang tak pernah kau ucapkan.

Chronophage tidak menghisap waktu—
ia mengunyah keputusan,
meneteskan janji yang tidak ditepati,
dan memuntahkan sisa dirimu dalam bentuk yang tak bisa dikenali.

Maka jangan menatap jam terlalu lama.
Ia sedang lapar.
Dan kau,
terlalu diam.

Mei 28, 2025

He Who Crawls Between Doors

Rabu, Mei 28, 2025 0
He Who Crawls Between Doors


Tak ada yang ingat kapan lorong itu mulai berubah. Dulu, katanya, hanya ada enam pintu di sisi kiri dan enam di sisi kanan. Dua belas pintu yang tertutup rapat, berbaris lurus seperti gigi dalam rahang dunia. Tapi waktu bergulir, dan entah bagaimana, jumlah pintu itu bertambah. Satu demi satu, dengan nomor-nomor yang tak lagi berurutan, huruf-huruf yang hilang sebagian, atau kadang hanya tanda coretan merah di tengah kayu.

Penduduk lama tidak membicarakannya. Mereka tahu terlalu banyak kata bisa mengundang sesuatu yang tidak ingin datang. Mereka hanya memberi peringatan pada yang baru: jangan buka pintu yang tidak kau kenal, dan jangan sekali-kali menyentuh gagang yang dingin meski udara di luar panas membakar.

Mereka tidak menyebut namanya, tapi semua tahu siapa yang dimaksud. Sosok yang tidak berjalan, tidak berdiri, hanya merangkak—perlahan, seperti cairan busuk yang mencari celah. Ia datang tanpa suara, tapi meninggalkan bau besi karat dan kelembaban. Dinding akan berembun saat ia mendekat, dan kunci-kunci tua mulai bergetar meski tidak disentuh.

Mereka menyebutnya "dia yang merangkak di antara pintu-pintu." Seolah tak pernah memiliki tempat sendiri, seolah keberadaannya memang ditakdirkan untuk tinggal di celah—di antara daun pintu yang setengah terbuka, di antara ketukan yang tak pernah dijawab, di antara keinginan manusia untuk keluar dan rasa takut untuk melangkah.

Beberapa bilang ia dulunya adalah lelaki biasa. Seorang penghuni yang tak pernah puas dengan ruangnya sendiri. Setiap malam ia membuka pintu, mengintip kamar lain, mencari sesuatu yang lebih terang, lebih hangat, lebih manusiawi. Tapi yang ia temukan hanyalah versi lain dari dirinya—tersenyum terlalu lebar, berdiam terlalu lama, membisikkan kata-kata yang tak pernah ia pahami.

Pintu demi pintu ia buka, lorong demi lorong ia lewati, dan perlahan tubuhnya berubah. Tulang-tulangnya mulai bengkok mengikuti bentuk lorong-lorong yang sempit, kulitnya terkelupas dan menyatu dengan dinding, matanya menjadi dua cermin cekung yang memantulkan ketakutan orang lain.

Ia tidak lagi bisa keluar. Dunia menjadi barisan pintu tanpa ujung, dan dirinya adalah penjaga di antaranya. Ia tidak memburu. Ia hanya menunggu—menanti seseorang yang ragu, seseorang yang berdiri terlalu lama di depan pintu, seseorang yang mengetuk sambil bertanya adakah yang di balik sana.

Jika kau mendengar bunyi engsel di tengah malam, jangan langsung berbalik. Diamlah. Dengarkan. Jika ada napas berat seperti dari paru-paru yang basah, jika kau mencium bau jamur dan tanah basah, kuncilah pintumu dan jangan bergerak. Kadang ia hanya lewat. Kadang ia tertarik.

Pernah ada anak kecil yang membuka pintu karena mendengar suara ibunya memanggil. Ia hilang malam itu. Kamar yang ditinggalkannya masih utuh, tapi cerminnya menjadi keruh, seolah menyimpan kabut dari tempat lain. Di lantai ditemukan jejak tangan—kecil, namun bercakar. Tak pernah ada yang menyebutkan anak itu lagi. Hanya terdengar bunyi pintu bergeser pelan setiap malam, seperti napas panjang dari lorong yang tidak bisa tidur.

Beberapa mencoba meninggalkan bangunan itu, tapi entah bagaimana, mereka selalu kembali ke tempat yang sama. Seolah ruang itu menempel pada kulit mereka. Mereka berpikir telah pindah kota, pindah negeri, tapi suatu malam mereka akan menemukan pintu yang tak mereka kenali di rumah baru mereka. Dan tahu bahwa ia telah ikut serta.

Dia bukan mimpi buruk. Dia adalah celah di antara kenyataan. Bukan hantu, bukan makhluk. Dia adalah akibat dari terlalu banyak pilihan dan ketakutan untuk memilih. Ia muncul setiap kali manusia mencoba melarikan diri dari dirinya sendiri, dan mencari jawaban dari pintu-pintu yang tidak seharusnya dibuka.

Lorong itu masih ada. Pintu-pintunya masih bertambah. Dan dia masih merangkak, dari satu pintu ke pintu lain, dari satu celah ke celah lain. Ia tidak terburu-buru. Waktu tidak menyentuhnya.

Karena bagi yang hidup di antara pintu, tak ada yang benar-benar tertutup.


Mei 17, 2025

Mesin Warna

Sabtu, Mei 17, 2025 0
Mesin Warna
Mereka lahir dari geometri yang tak mengerti,
tubuhnya lentur di antara tepi-tepi tajam.
Dunia memberi warna, tapi bukan makna,
hanya kotak-kotak tak seimbang yang terus berganti wajah.

Mereka diam—bukan karena tak ingin bicara,
tapi karena suara pun tak tahu harus ke mana.
Di dunia yang dibangun dari logika dan warna,
seorang perempuan menari di atas beban yang ia tak pilih.
Tubuhnya lentur, tapi punggungnya remuk oleh sistem yang kubik.
Di atasnya, seorang anak hanya berdiri. Tidak membantu. Tidak bicara.
Ia menatap tembok retak—mungkin mencari jalan keluar.

Tapi dunia tak punya pintu, hanya pusaran yang menelan segalanya.
Di dunia di mana warna ditentukan algoritma,
seorang manusia tumbuh dari kubus—bukan rahim.
Tangannya menjangkau langit yang tak ada,
rambutnya diterbangkan algoritma angin,
dan tubuhnya… tersusun dari harapan patah dan sistem tak peduli.

Ia bukan tahanan. Tapi juga bukan bebas.
Ia—adalah kita.
Aku dulu pilar, yang memikul warna dan luka.
Kini aku percikan —
Retakan geometri tak lagi mengikatku.
Dinding-dinding meledak dalam simfoni.

Kubus yang dulu menindihku, kini kutari.
Lantai yang dulu menghukum, kini kudongakkan sebagai langit.

Mei 03, 2025

Wajahmu, Bajingan Siapa?

Sabtu, Mei 03, 2025 0
Wajahmu, Bajingan Siapa?
Lihat foto itu.
Mukanya Mbak Sari. Tapi bajunya baju pengantin India.
Tangannya? Ya Allah, tangan Hulk.
Background-nya Taman Safari.
Caption-nya: “Feeling cute, might delete later.
Censuog.

Apa yang terjadi?
Jawabannya cuma satu: face swap makin liar, makin mesum, makin ngedab-edabi.

---

Sekarang semua orang bisa jadi siapa aja.
Pak RT bisa jadi Joker.
Anak kos bisa jadi Lisa Blackpink.
Tukang nangkep curut bisa nongol di poster film Hollywood.
Cuma modal HP kentang dan aplikasi gratisan dari Play Store.

Dan yang paling parah:
muka hasil swap itu lebih enak dilihat daripada aslinya.
Padahal aslinya jerawatan, alis cuma satu, senyum kayak habis ngunyah koyo cabe.
Tapi hasil swap?
Buset. Serasa pangeran dari kerajaan utara yang siap meminang putri duyung.

---

Yang lebih ngeri adalah: muka sekarang nggak punya harga diri.
Muka bisa dicomot, digosok, ditempel ke video dangdut remix atau mukbang seblak setan.
Ada yang bikin konten drama Korea pakai muka mantannya.
Ada juga yang bikin video azab, tapi pakai wajah guru ngaji.

Dan semua itu dianggap biasa.
Lucu malah.
Di-like, ditonton, dijadikan status.
Sementara kita?
Cuma bisa melongo, mikir:
Ini siapa yang goblok? Aplikasinya, penggunanya, atau kita semua?

---

Entah kapan semua ini mulai.
Mungkin sejak kita sadar bahwa jadi diri sendiri itu kalah pamor sama jadi versi palsu.
Atau sejak muka sendiri terasa terlalu membosankan untuk ditahan seumur hidup.
Padahal kata Mbah-mbah jaman dulu ""Sing penting iku ra ayu/bagus-mu, tapi ra ngapusi identitasmu."

Tapi ya sudahlah.
Toh sekarang, wajah adalah properti publik.
Milik umum. Kayak Wi-Fi masjid atau sandal hotel.
Dipakai rame-rame. Kadang hilang. Kadang balik udah bukan sepasang.