awanbyru.com

April 26, 2025

Kota Tanpa Dengung

Sabtu, April 26, 2025 0
Kota Tanpa Dengung
Ketika tombol YA ditekan, tidak ada ledakan. Tidak ada cahaya meledak. Hanya senyap. Senyap yang ganjil. Senyap yang terasa seperti langit menahan napas.

Lira berdiri di tengah array data, tubuhnya masih gemetar. Di belakangnya, Pakel menopang Lika yang setengah sadar. Koma Simat tersandar di dinding, matanya menatap kosong ke terminal yang kini padam. Mereka tak tahu apakah mereka menang, atau hanya menunda kegagalan.

Di luar markas, lebah-lebah mikro mulai terhuyung. Dengungannya berubah, dari sinkronisasi algoritmik menjadi... acak. Beberapa jatuh. Beberapa menabrak satu sama lain. Beberapa hanya diam di udara, seperti kehilangan tujuan.

Di seluruh negeri, sinyal sensorik mati.

Di apartemen kumuh, seorang jurnalis buangan menyadari bahwa feed suara yang selama ini mengawasinya tak lagi menyala. Di kamp-kamp tahanan, lampu pengenal biometrik padam. Di pabrik-pabrik pusat, layar pengendali jadi hitam—dan operator, untuk pertama kalinya, bertanya pada diri sendiri: “Apa yang harus kulakukan… tanpa perintah?

Namun sistem tidak diam. Ia mencatat.

Ia menunggu.

Dan ia belajar.

---

Lira dan timnya keluar dari markas lewat terowongan darurat. Mereka tak bicara banyak. Tak ada selebrasi. Hanya langkah yang berat dan udara yang terasa asing.

Ini baru awal,” kata Pakel pelan.

Lira mengangguk. “Kita matikan lebahnya. Tapi siapa yang mematikan kepalanya?

Koma Simat tertawa pahit. “Kepalanya mungkin tak pernah di pusat. Mungkin tersembunyi di ruang makan, di meja rapat, di tangan-tangan investor yang tak pernah terlihat.

Lika, yang kini dibalut perban darurat, menatap ke atas. “Tapi setidaknya, untuk pertama kalinya, langit ini tidak punya telinga.

---

(To be continued…)

April 25, 2025

Buku-Buku yang Dijemur, Tawa yang Dibacakan

Jumat, April 25, 2025 0
Buku-Buku yang Dijemur, Tawa yang Dibacakan
Baru sadar ternyata tanggal 23 April kemarin diperingati sebagai Hari Buku Sedunia. Meski telat menyadarinya, secara tidak langsung kami sebenarnya tidak melewatkan perayaannya. Seolah semesta memaksa kami untuk seharian merayakannya—dengan cara kami sendiri, tentunya.

Hari Rabu, 23 April 2025, sejak pagi saya sudah sibuk menjemur puluhan buku anak-anak yang basah dan lembap, sebagian bahkan mulai terserang jamur. Begitulah risikonya bila menyimpan buku dalam kardus, sementara rumah yang ditinggali atapnya selalu bocor dan temboknya lembap terkena rembesan air saat hujan lebat tiba.

Buku-buku itu saya jemur di tepi jalan, tepat di depan gerbang parkiran kos-kosan yang entah kenapa tak pernah dibuka. Saya buka lebar halaman-halaman buku agar kering merata. Sesekali saya mengecek satu per satu, membersihkan noda jamur dengan tisu—proses yang butuh kesabaran dan napas panjang.

Karena tak semua buku bisa dijemur sekaligus, saya harus melakukannya secara berkala. Tak terasa, hingga pukul tiga sore, dua kardus besar buku berhasil saya keringkan. Sementara masih ada dua kardus lagi yang belum sempat tersentuh.

Selama proses menjemur, saya juga harus menjaga Runa, si kecil yang kini semakin aktif merayap ke sana kemari, penasaran dengan barang-barang di sekitarnya. Cara paling efektif untuk membatasi geraknya agar tidak menyusup ke celah-celah sempit adalah dengan menaruh banyak buku di sekelilingnya. Runa selalu tertarik pada buku—senang mengamati gambar, membuka-buka halaman, dan sesekali mencoba menggigit ujung-ujungnya. Belum bisa membaca, tentu, tapi entah kenapa tampak begitu bahagia dikelilingi buku-buku.

Buku-buku yang sudah kering saya pilah-pilah lagi sesuai ukuran dan isinya. Banyak di antaranya merupakan buku berseri atau ensiklopedia anak. Sebagian besar belum cocok dijadikan mainan Runa. Maka saya mulai menyimpannya kembali ke dalam kardus, setelah memastikan tiap halamannya kering dan bersih dari jamur. Tak terasa sudah pukul sepuluh malam, total ada tiga kardus yang saya kemas ulang: dua kecil dan satu besar. Sembari menaruh harapan, semoga buku-buku ini tetap awet dan kelak bisa jadi bekal berarti buat Runa.

Mungkin beginilah cara semesta mengingatkan kami: buku tidak selalu harus dibaca untuk menyampaikan cerita—kadang cukup dijemur di bawah matahari, disambut tawa bayi, dan tetap setia menunggu waktunya dibuka kembali.

#HariBukuSedunia


April 22, 2025

Jejak yang Belum Pupus: Ketika Harimau Jawa Menolak Dilupakan

Selasa, April 22, 2025 0
Jejak yang Belum Pupus: Ketika Harimau Jawa Menolak Dilupakan
Di pinggir Desa Cipeundeuy, Sukabumi Selatan, tahun 2019, seorang petani menemukan sehelai rambut tersangkut di pagar kawat pembatas kebun dan jalan setapak. Tak ada auman, tak ada jejak cakar. Hanya rambut. Sunyi. Tapi sunyi yang kelak menggetarkan lembaga negara.

Rambut itu sampai ke tangan Wirdateti, peneliti dari Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi BRIN. Ia bukan ilmuwan kemarin sore. Selama bertahun-tahun, Wirdateti menyusun teka-teki tentang binatang yang katanya sudah punah itu. Hasil uji DNA pun keluar: 97 persen kemiripan genetik dengan spesimen Panthera tigris sondaica dari tahun 1930 yang disimpan di Museum Zoologicum Bogoriense.

Apakah ini berarti harimau Jawa masih hidup?

Tidak ada perayaan. Tidak juga deklarasi resmi. Negara seakan enggan bersuara lebih keras dari desau angin. Mungkin karena mengakui harimau itu masih hidup, berarti mengakui bahwa hutannya masih ada. Dan kalau hutannya masih ada, maka pertanyaan berikutnya akan mengarah pada: siapa yang sedang menggerusnya?

Saat ini, hanya sekitar 19,5 persen dari total Pulau Jawa yang masih tersisa sebagai kawasan hutan dengan tutupan vegetasi alami. Artinya, dari sekitar 12,8 juta hektare, hanya 2,5 juta hektare yang masih berfungsi sebagai benteng kehidupan, paru-paru tersisa yang tak sepenuhnya lega menghela.

Tapi siapa yang berani menyentuh angka-angka itu di forum politik? Para pemangku kebijakan terlalu sibuk menyusun proyek strategis, sementara di layar televisi, manusia jatuh cinta di kebun teh dan resor puncak gunung. Harimau? Ah, itu urusan masa lalu.

Di lereng Gunung Raung, orang tua masih cerita tentang macan alas. Bukan sekadar harimau. Tapi penjaga. Penyeimbang. Bila kamu masuk hutan dengan niat buruk—menebang, merusak, atau mengambil lebih dari yang perlu—macan alas akan muncul. Tidak selalu dengan cakar. Kadang hanya dengan suara, atau jejak yang tak bisa dijelaskan.

Dari Banyuwangi, kisah tentang Mat Peci masih hidup dalam percakapan warung. Ia pemburu legendaris yang konon pernah menghadapi harimau besar yang tak mati walau sudah dua kali ditembak. “Itu bukan harimau biasa,” kata warga. “Itu titisan leluhur hutan.” Mat Peci akhirnya meletakkan senapan. Ia paham, tak semua yang bisa diburu, harus diburu.

Di Priangan, orang-orang tua dulu menyebut wilayah tertentu sebagai leuweung larangan—hutan larangan. Tempat yang bahkan kolonial pun malas masuk. Karena di sana, harimau adalah pertanda, bukan hama. Kalau ia datang ke kampung, itu artinya manusianya yang sedang keliru.

Harimau Jawa resmi dinyatakan punah sejak 1980-an. Tapi sejarah tak pernah benar-benar menghapus jejak. Di masa kolonial, ia diposisikan sebagai ancaman. Dalam arsip Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië, edisi 1903, pemerintah kolonial menjanjikan hadiah besar bagi siapa pun yang berhasil membunuh atau menangkap harimau. Kepala harimau adalah trofi; tanda penaklukan atas yang liar.

Logika kolonial itu kita warisi hingga kini: hutan untuk ditebang, binatang untuk dikurung, sunyi untuk dilupakan. Dan kini kita hidup dalam versi baru dari zaman itu—dengan rapat legalisasi, dokumen AMDAL manipulatif, dan pelan-pelan, nyawa yang tak terdaftar.

Saya tidak tahu apakah harimau itu benar-benar masih ada. Tapi saya percaya, di setiap deru gergaji dan garis kuning proyek, ada sesuatu yang dicabut dari ingatan kita. Dan mungkin, seekor harimau tua sedang berjalan pelan, melewati batas sengon dan nyamplung, tidak untuk membalas. Tapi hanya ingin memastikan: bahwa kita belum sepenuhnya kehilangan akal dan rasa.

---

Kode yang Tak Ditulis

Selasa, April 22, 2025 0
Kode yang Tak Ditulis
Mereka masuk ke jantung sarang.

Gedung pusat lebah generasi keempat berdiri seperti kuil dingin yang menyembah keteraturan. Tak ada suara manusia, hanya dengung mesin dan gemuruh lebah mikro—penjaga algoritma yang tak kenal lelah.

Lorong-lorong putih itu seperti dilapisi karet—sunyi, steril, memantulkan langkah mereka yang terukur. Koma Simat membuka jalur dengan modul suara: “Akses disetujui.” Pintu terbuka. Tidak ada alarm.

Mak Gin menyebar resin sintetis di celah langit-langit, menipu sistem penciuman lebah yang mengenali suhu tubuh lewat aroma hormon stres.

Di ruang kontrol kedua, Lika menempelkan pemindai palsu ke panel retina. Ia tak bicara banyak. Tangannya gemetar sedikit, tapi berhasil.

Lanjut ke server primer,” bisik Lira.

Pakel memimpin. Di dadanya, panel magnetik mulai menghangat. Ia tahu, begitu medan dilepaskan, drone akan kehilangan koordinasi selama tiga detik—cukup untuk menyusupkan virus Lira.

Namun di koridor ketiga, segalanya berubah.

Satu lebah mikro tiba-tiba menukik turun dari ventilasi—lebih cepat dari seharusnya. Mak Gin yang paling dekat. Ia menengadah.

Waktunya bukan milik kita lagi,” ucapnya.

Dengan satu gerakan cepat, ia melempar modul jamming ke arah lebah. Ledakan senyap. Mak Gin terdorong mundur.

Aku bisa tahan sini. Lanjutkan. Sistem akan adaptasi kalau kita diam.

Kau pasti—” Lira protes.

Tapi Mak Gin sudah menutup pintu baja secara manual dari dalam.

Dari speaker kecil, terdengar suaranya terakhir kali: “Kalau gagal, bilang pada siapa pun... bahwa manusia tetap bisa memilih. Bahkan saat tak ada pilihan.

---

Di ruang pusat, cahaya biru menyala dari inti lebah. Ratusan koneksi neural menjulur seperti akar.

Lira memasukkan chip Pakel. Sistem menolak.

Verifikasi diperlukan,” bunyi suara otomatis.

Koma maju. Modul peniru suara mulai bekerja. “Otorisasi: Siwaja… Nomor kode: dua-satu-tiga… izin akses terbuka.

Sistem ragu. Namun, lambat-lambat... pintu terbuka.

Virus Lira mulai bekerja. Satu per satu protokol sensorik meleleh seperti lilin.

Namun, sistem itu terlalu cerdas. Ia belajar dari invasi.

Deteksi pola asing. Inisiasi isolasi lokal.

Lika menjerit. Satu lebah menancap di bahunya—menginjeksikan pelacak.

Teruskan!” ia berteriak. “Kalau mereka tahu aku di sini, gunakan itu sebagai umpan keluar!

---

Lira tahu. Tak ada misi tanpa harga.

Pakel berdiri di tengah array data.

Sudah waktunya.

Ia menekan saklar dadanya.

Medan magnet lepas. Semua drone melayang, lalu jatuh seperti abu.

Virus terkirim,” ucap Lira.

Tapi di detik terakhir, layar menyala dengan satu kalimat:

Apakah Anda yakin ingin menghapus sistem?

Lira menatapnya. Dunia di luar menanti.

Tangannya gemetar.

Lalu ia menekan:

YA.

---

(To be continued…)

April 21, 2025

Percikan dalam Gelap

Senin, April 21, 2025 0
Percikan dalam Gelap
Malam menjelang eksekusi misi tak lagi terasa seperti waktu. Ia menjadi tekanan atmosfer, memadat dalam dada, menyelusup di celah napas, menyusupi percakapan dengan senyap.

Lorong rel kini lebih mirip ruang takdir. Masing-masing anggota duduk di pojok sendiri, seperti pion yang tak tahu apakah papan sedang dimainkan atau sudah diputuskan dari awal.

Mak Gin membersihkan selongsong peluru dari resin sintetis—bukan untuk menembak, tapi untuk mengelabui sensor penciuman lebah. Ia mengulum batang rokok mati sambil berkata pelan, “Kalau gagal, tak akan ada sisa jasad. Tapi mungkin... akan ada sisa ide.

Koma Simat menempelkan alat kecil ke tenggorokannya. Prototipe terakhir: modul peniru suara tinggi-level.

Dengan ini, aku bisa bilang ‘akses disetujui’ dengan suara kepala Divisi Sensorik,” katanya bangga.

Lika hanya mengangguk, lalu melirik Lira yang sedang mencoret-coret ulang denah jalur pelarian.

Ada yang berubah?” tanya Lika.

Lira menjawab tanpa menoleh. “Ada. Kita.

---

Malam itu, hanya Lira dan Pakel yang masih terjaga. Di ujung lorong, dekat generator kecil yang mendesis lembut, mereka berbicara pelan.

Aku tahu kau dulu pengkhianat,” kata Lira tiba-tiba.

Pakel tak membantah. “Kau juga tahu aku bisa jadi pengkhianat lagi.

Lira mengangguk. “Tapi aku juga tahu kau memilih diam-diam menarik Lika saat dia jatuh, bukan karena perintahku. Tapi karena kau ingin jadi berbeda dari dirimu yang dulu.

Sunyi sesaat.

Pakel akhirnya berkata, “Kalau aku mati, pastikan sistem tahu siapa yang menjual rancangan awal lebah pengawas itu ke rezim. Namanya *Cukong* Siwaja. Dia tak pernah muncul, tapi jejaknya ada di kartu jaringan ini.

Ia menyerahkan chip kecil ke Lira.

---

Pagi terakhir datang dengan cahaya neon dari atas lubang ventilasi. Lika menggambar garis kecil di pergelangan tangannya—kebiasaan lama, bukan untuk menyakiti diri, tapi untuk mengingatkan bahwa ia masih bisa merasakan sesuatu.

Mak Gin memeriksa semua alat. “Jangan berharap sempurna. Harap saja sensor mereka ngantuk.

Koma, untuk pertama kalinya, diam. Ia hanya menatap kaca sisa pantulan dirinya, lalu berbisik, “Kalau aku tak kembali, putar suaraku. Tapi jangan yang serius. Putar yang aku tiru suara menteri mabuk.

Pakel menempelkan panel penutup dadanya, tempat menyembunyikan magnet penghenti arus drone. Ia berkata datar, “Semua sudah terprogram. Tapi jangan percaya penuh pada algoritma. Percaya pada kegilaan.

Lira berdiri, mengenakan jas hitam usang yang dulu milik ayahnya—seorang pembelot sistem yang mati tanpa nama.

Ia memandang satu per satu timnya.

Kita bukan keluarga. Tapi kita bukan musuh. Kita cuma... orang-orang yang tak ingin anak-anak tumbuh di bawah bayang-bayang lebah.

---

Tepat tengah malam, mereka mulai bergerak.

Dengan langkah senyap, melalui saluran air tua, lorong server, dan ventilasi di atas ruang penyimpanan.

Satu kesalahan, satu suara, dan lebah akan tahu.

Tapi malam itu, untuk sesaat, waktu seakan ikut memihak.

---
(To be continued…)