Gerakan Akar - awanbyru.com

April 11, 2025

Gerakan Akar

Di bawah tanah, dunia berbicara dalam bisikan. Tidak ada nama, tidak ada pangkat. Hanya satu identitas: yang masih berpikir.

Lira mengikuti jejak samar yang ditinggalkan oleh surat dalam tubuh lebah rusak itu. Ia tidak tahu pasti ke mana harus melangkah, tapi tanah seperti memberinya arah. Dalam selokan tua yang telah lama tak digunakan—tempat pemerintah tak lagi menanam kamera—ia menemukan pintu logam dengan lambang akar pohon yang terukir kasar.

Pintu itu terbuka dengan suara berat, dan di baliknya ada ruangan yang remang dan bau logam. Beberapa orang menoleh saat ia masuk. Wajah-wajah letih, mata yang menyimpan kemarahan dan ketakutan dalam kadar yang sama. Di dinding, tertulis kalimat dengan cat merah:

"Kita adalah akar. Mereka hanya daun kering yang menunggu jatuh."

***

Pemimpin mereka tidak memakai seragam. Ia hanya dipanggil Ibu Rata—wanita paruh baya dengan mata yang tajam dan suara seperti batu yang bergesek. Ia menunjuk layar proyeksi yang memetakan jalur drone, titik-titik hilangnya warga, dan daftar panjang orang-orang yang dihapus dari sistem.

"Negara ini tidak bangkrut karena miskin," katanya. "Negara ini bangkrut karena dibangun di atas kebohongan berlapis-lapis."

Ia menjelaskan bahwa pemerintah sengaja mempertahankan utang sebagai alat kontrol. Setiap warga terdaftar dalam sistem bernama CicilSejati, di mana setiap makanan, pendidikan, bahkan udara bersih adalah pinjaman berbunga. Tidak ada yang boleh lunas. Lunas berarti merdeka. Dan merdeka berarti ancaman.

"Yang disebut kewajiban warga hanyalah kemasan untuk perampokan berjamaah," kata Ibu Rata. "Sementara kalian antre sembako, mereka membuat undang-undang pengampunan pajak untuk para konglomerat."

Lira tidak mengerti semua istilah itu, tapi ia mengerti satu hal: dunia ini sedang sakit. Dan mereka yang mengaku menyembuhkan, justru pembawanya.

***

Malam itu, mereka memperlihatkan pada Lira sebuah rekaman. Bukan dari media resmi, melainkan video mentah: para buruh yang ditembak karena menuntut upah, seorang guru yang ditangkap karena mengajar sejarah yang tidak sesuai kurikulum pemerintah, seorang ibu yang anaknya diambil karena mempertanyakan kewarganegaraan digital

Lira merasa perutnya mual.

"Ini bukan cerita sedih," kata seorang anggota muda bernama Elun. "Ini bukti. Dan setiap bukti adalah api."

***

Di atas tanah, propaganda terus berlangsung. Pemerintah meluncurkan kampanye "Satu Suara untuk Stabilitas"—suara yang tidak boleh berbeda. Mereka menanam patung-patung logam berbentuk lebah di taman-taman, memutar lagu nasional dengan aransemen elektronik dan lirik yang diperbarui:

 
“Yang bicara, disaring.  
Yang bertanya,  diperingatkan.  
Yang setia, diberi kerja.”
  

Dan seperti biasa, sebagian rakyat menari dalam ketakutan, mengira itu kebahagiaan.

***

Tapi di bawah tanah, akar mulai tumbuh ke segala arah.

Dan Lira mulai belajar satu hal penting: revolusi tidak selalu dimulai dengan senjata. Kadang, ia dimulai dengan membaca, menulis, dan menolak percaya.

---

Bersambung (kalau saya tidak lupa) 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar