Nawawi masih sibuk menjumper jalur yang ambrol ketika aku
memutuskan untuk menunggu telepon genggam itu sampai selesai diperbaiki. Aku
perkirakan tak butuh waktu lama bagi Nawawi untuk memperbaikinya. Dan aku rasa
masih ada cukup waktu buatku untuk tidak terlambat masuk kerja, dengan catatan
aku tidak mandi dan juga harus melupakan makan siang yang terlalu banyak memakan
waktu.
Butuh lima belas menit bagi Nawawi untuk menjumper jalur yang ambrol, ia mengeluhkan kondisi matanya yang mulai susah untuk melihat detil yang terlalu kecil dan rapat. Dengan bantuan kaca pembesar ia berhasil membuat jalur baru. Kemudian hanya butuh lima menit untuk merakit telepon genggam itu kembali utuh. Sepintas lalu telepon genggam itu terlihat normal saat dinyalakan, aku putuskan mengecek ulangnya nanti saja saat di tempat kerja. Tergesa aku membayar ongkos perbaikan kemudian pamit, aku mulai kehabisan waktu.
Segera aku starter motor meninggalkan rumah Nawawi,
sekeluar dari gang laju sepeda motor aku tingkatkan. Bagaimanapun aku tidak
boleh terlambat hari ini. Tahu sendiri kan, upah buruh seperti aku ini tak
seberapa. Kalau terlalu sering terlambat terlalu banyak bonus premi yang harus
terbuang dipotong manajemen. Sebisa mungkin jangan sampai terlambat agar upah
yang diterima tetap utuh. Biarpun besarnya premi tak seberapa namun terlalu
sayang untuk terbuang percuma karena terlambat masuk kerja.
Jarak dari rumah Nawawi menuju pulang tidaklah jauh,
sekira menghabiskan sepuluh menit untuk sampai rumah. Arus lalu lintas siang ini
sepertinya tidak mendukungku, terlalu padat dan semrawut. Udara lembab
menguarkan hawa panas yang membuat para pemakai jalan ingin segera sampai
tujuan menyingkirkan gerah yang melanda. Aku pun sama, ikut tergesa dalam kesemrawutan
yang ada. Dalam pikiranku aku harus segera sampai rumah, mandi, ibadah Dhuhur,
memakai seragam, dan berangkat kerja. Pukul empat belas adalah tenggat
waktunya.
Sepeda motor aku pacu di kecepatan maksimal delapan puluh
kilometer per jam. Aku berkendara tepat di tengah marka jalan sambil terus
mencari celah untuk dapat melaju secepat mungkin. Rumah sudah dekat, pusat
kemacetan juga sudah aku lewati. Di depanku tampak pengendara matic berjalan canggung,
melaju pelan tepat di tengah jalan. Aku putuskan melebar ke tengah untuk
menyalip matic tersebut dari arah kanan. Dan saat tepat aku ada di belakangnya
mendadak matic tersebut menyalakan sein ke kanan dan semakin melebar ke tengah
memaksaku menghindar semakin ke kanan. Dari arah depan tanpa aku sadari ada dua
buah motor sport berkejaran melaju dengan kecepatan tinggi. Aku tepat berada di
tengah marka saat motor sport yang di depan berpapasan denganku. Di sebelah
kiriku matic canggung itu terus melebar ke kanan, sedang motor sport yang ada
di belakang bergerak melebar menuju ke arahku. Menghindar ke kiri atau ke kanan
tidak lagi ada celah buatku, sedang menambah kecepatan sudah tidak lagi
memungkinkan. Aku hanya bisa menginjak tuas rem sekerasnya sambil menekan rem
tangan. Roda belakangku bergoyang kencang ke kiri dan ke kanan.
Seketika hening menyelimutiku, tak ada deru suara
kendaraan tiada pula suara tumbukan. Aku menoleh ke belakang, matic itu tetap canggung
berjalan di tengah dengan pelan, terlihat ragu antara mau menyeberang atau
tidak. Dua motor sport yang berkejaran dan berpapasan denganku tidak terlihat
sama sekali. Aku berkendara dengan pelan sambil bersyukur kepada Tuhan,
meskipun aku sama sekali tidak tahu bagaimana ceritanya aku bisa terhindar dari
tabrakan.
Ayahku tertidur di ruang tamu saat aku memasuki rumah,
jam dinding di atasnya menunjukkan pukul tiga belas lebih dua puluh dua menit.
Aku segera menuju dapur untuk mengambil minum, menenangkan degup jantungku yang
berdetak tidak beraturan. Di kamarnya aku melihat ibu tidur dengan lelap,
segera aku menuju kamar mandi, bersih bersih badan secepatnya kemudian bersuci
untuk menunaikan Dhuhur yang belum aku tunaikan. Segera setelah mengenakan
seragam Satpam dengan segala perlengkapannya, aku meninggalkan rumah dengan
tergesa, kedua orang tuaku masih lelap di tempatnya masing-masing.
Seperti saat pulang dari rumah Nawawi, sepeda motorku
langsung aku kendarai dengan kecepatan maksimal menuju tempat kerja.
Beruntunglah aku karena aku berhasil sampai tepat waktu, mesin absensi
menunjukkan aku hadir lima menit lebih awal dari waktu yang ditentukan.
Langsung aku menuju Pos yang menjadi tempat tugasku, berserah terima tugas dengan
petugas pagi dan memastikan keadaan aman serta barang inventaris tetaplah
lengkap.
Seperti biasa aku memulai kerja dengan mengatur tugas
masing-masing anggotaku, kemudian mengecek tiap-tiap pos yang berada dalam
wilayahku, memastikan kehadiran tiap-tiap personel dan kesiapan dalam menghadapi
tugas. Mendengar laporan dan keluhan para anggota, tentang tugas yang mereka
jalani, tentang banyaknya undangan yang mereka terima, tentang si Makruf rekan
mereka yang sering kali terlambat dan kalau istirahat terlalu lama, atau juga
tentang angsuran yang mereka bayar tiap minggunya.
Di tiap pos yang aku datangi selalu ada laporan yang aku
terima, ada yang harus aku tampung dan ada pula yang cukup sekedar aku dengar. Beberapa
laporan aku teruskan kepada pimpinan, termasuk surat ijin dari para anggota
yang berencana tidak masuk kerja. Selain pekerjaan yang sifatnya administratif,
aku juga diharuskan terjun langsung ke lapangan. Saat hari beranjak sore aku
bergeser ke perempatan untuk melakukan pengaturan lalu lintas di jalan yang
dilalui karyawan dan karyawati sepulang kerja.
Selepas Maghrib aku kembali ke Pos penjagaan, sebentar
lagi jam tutup kantor dan seperti biasa harus ada petugas yang memastikan
keadaan aman. Di sela kesibukan setelah Isya aku sempatkan mengecek kondisi
telepon genggamku yang siang tadi diperbaiki Nawawi. Proses pengisian
baterainya yang semula tidak bekerja telah normal kembali. Sempat aku kepikiran
untuk menceritakan pengalamanku nyaris celaka tadi siang di status Facebook, namun
urung aku lakukan. Waktu bergerak cepat, tak terasa sudah pukul sepuluh malam.
Setelah melakukan serah terima tugas dengan petugas malam tiba waktunya untuk
aku pulang.
Kali ini aku pulang tidak dengan tergesa, aku nikmati
perjalananku menuju rumah. Bagaimanapun kejadian siang tadi mengingatkanku
untuk lebih bersabar dan berhati-hati. Lima belas menit kemudian sampailah aku
di rumah, entah mengapa di depan rumahku terang benderang ada tratak
dan kursi serta banyak tetangga layaknya ada melekan. Pikiran buruk
melandaku, “siapa yang mati?”
Para tetangga tak mempedulikanku, di dalam rumah tak
kutemukan ayah dan ibuku. Meja, kursi, televisi dan perabotan yang biasanya ada di
ruang tamu telah dikeluarkan semua. Hanya ada dipan kosong di ruang tamu. Aku
mencoba bertanya kepada para tetanggaku tak satupun yang menjawab, mereka
seperti sedang menunggu sesuatu. Tak sampai lima menit datanglah sebuah mobil
jenazah, serentak tetanggaku berdiri sebagian meminggirkan kursi, sebagian
menghampiri ke tempat mobil jenazah berhenti. Ayah dan ibuku keluar dari mobil
jenazah, sang sopir mobil jenazah membuka pintu belakang diikuti para tetangga yang
membantu menggotong tubuhku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar