Bukan karena tak ada suara, melainkan karena tak ada makna. Angin bertiup, tetapi tak ada yang mencatat arahnya. Langit membentang, tetapi tak seorang pun bertanya mengapa ia begitu setia bergantung di atas kepala. Kita hidup di antara peristiwa, namun tak ada yang menamai rasa kehilangan, atau haru, atau cinta yang tak berbalas. Segalanya hanya berlalu, seperti bayangan tanpa tubuh.
Lalu, seperti cahaya pertama yang menembus celah jendela, seorang anak kecil menemukan satu kata. Hanya satu. Tergeletak di tanah, mungkin terjatuh dari bibir seorang penyair yang terlupa. Ia membaca pelan—tak terburu-buru, karena ia belum tahu arti tergesa. Dan sesuatu dalam dirinya menyala.
Kata itu bukan mantra. Ia tidak mengubah dunia luar. Tapi ia menggerakkan sesuatu di dalam: semacam keingintahuan, semacam getar, seperti mata air kecil yang mendadak muncul di tanah kering. Anak itu mulai mencari kata-kata lain. Ia tidak tahu apa yang ia bangun, tapi ia tahu: setiap kata baru membuatnya sedikit lebih tinggi.
Dari kata, lahir kalimat. Dari kalimat, lahir buku. Dari buku-buku, terbentuklah sebuah tangga. Tangga yang tidak lurus, tidak rapi. Ia melingkar, melayang, menanjak secara aneh seperti mimpi yang belum selesai. Tapi anak itu terus menyusunnya. Ia tidak tahu ke mana tangga itu akan mengarah. Tapi ia merasa: ini bukan soal tempat tujuan, ini tentang proses naik itu sendiri.
Dalam perjalanannya, ia bertemu banyak jenis kata. Kata yang hangat, seperti pelukan. Kata yang tajam, seperti belati. Kata yang lembut, seperti bisikan ibu. Kata yang pahit, seperti rahasia. Ia belajar bahwa membaca bukan hanya menerima pengetahuan, tapi membuka luka. Kata-kata bukan hanya alat tukar ide, tetapi jendela ke penderitaan orang lain.
Ia menangis di satu buku. Marah di buku lainnya. Dan tertawa dalam diam pada lembar-lembar yang penuh absurditas hidup. Dalam semua itu, ia naik. Perlahan. Tapi pasti.
Tangga itu terus tumbuh. Buku-buku tak berhenti ditulis. Halaman-halaman terus berlipat, menebal, menjulang. Dunia kini menjadi lebih bising, lebih cepat. Tapi bagi anak itu—yang kini telah menjadi siapa pun yang membaca ini—selalu ada satu tangga yang masih bisa dipijak: tangga dari kata-kata, dari cerita, dari pengetahuan yang jujur.
Dan di ujung tangga itu, tak ada mahkota, tak ada takhta. Hanya langit. Langit yang sama, tapi kini berbeda—karena kini ia punya makna. Langit yang kini bisa ditatap dengan kesadaran bahwa meski kecil, manusia bisa memilih: untuk tetap diam di bawah, atau terus naik, satu kata demi satu kata.
Karena setiap kata yang ditulis dengan jujur, setiap buku yang dibaca dengan hati, adalah satu langkah menuju langit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar