Syahbandar - awanbyru.com

Agustus 22, 2017

Syahbandar

               Masih ingat dengan syahbandar Tuban yang menjadi tokoh antagonis dalam novel ”Arus Balik”? Sebenarnya apa sih syahbandar dan sejak kapan profesi ini ada di Nusantara?

               G.J Resink dalam kajiannya yang berjudul "Abad-Abad Hukum Internasional di Indonesia" ("Euwen Volkenrecht in Indonesié") sedikit mengulas tentang profesi ini.

               Berikut ini penjelasan singkat G.J Resink tentang syahbandar yang bisa anda temukan di buku "Bukan 350 Tahun Dijajah" halaman 195-196:

"Sejauh yang sudah diketahui, syahbandar bertugas sebagai perantara antara para penguasa dengan orang-orang asing di Kepulauan Indonesia selama lebih dari tiga abad. Mereka ditugaskan untuk mewakili kepentingan orang-orang asing di hadapan penguasa lokal. Pada banyak kasus, mereka diberikan kewenangan hukum khusus terhadap para orang asing dan dapat membuat kontrak dengan mereka. Di Sumatera, orang-orang yang bertindak dalam kapasitas pertama ini sudah ada sejak masa Ibnu Batuta. Syahbandar yang bertindak sebagai hakim dengan yuridiksi terhadap orang-orang asing sudah disebutkan dalam abad ke-7 untuk Banten, Palembang, dan Kota Waringin. Mereka juga ditemukan sebagai perunding kontrak, baik pada masa lalu maupun beberapa tahun yang lalu. Pada abad ke-17, 'sabannara' di Makasar membuat kesepakatan dengan para pedagang Melayu. Pada 1876, seorang syahbandar di Langkat bersedia menandatangani kontrak dengan seorang Eropa yang berkaitan dengan pemberian konsesi hutan atas nama pangeran.
Sering kali, syahbandar sendiri adalah orang asing. Pada abad ke-17, seorang Gujarat menjadi syahbandar di Banjarmasin sementara orang-orang Cina menjadi syahbandar di distrik-distrik pesisir Jawa. Hingga 1850, terdapat syahbandar Bugis dari Bone di Teluk Kendari dan di sebelah utara Sulawesi. Duta besar ---syahbandar---- dari Aceh yang disebutkan sebelumnya adalah orang India."

               G.J Resink juga mengutip Schrieke yang menulis:

"...orang akan terkejut melihat fakta bahwa orang-orang asing sering kali memiliki posisi penting yang kurang lebih resmi---dengan berbagai gelar, sepertinya tergantung pada pengetahuan bahasa mereka, dan sebagainya---sebagai perantara antara pihak berwenang pelabuhan dengan para pedagang asing. Di Banten, sudah lama posisi tersebut diisi oleh seorang keling atau Gujarat dan nantinya seirang Cina; di Tuban adalah orang Portugis yang memeluk agama Islam; di Banjarmasin adalah seorang Gujarat; di Malaka Melayu adalah seorang Jawa dan seorang keling, di samping seorang syahbandar Gujarat."


Tidak ada komentar:

Posting Komentar